Mantan penyiar radio, jurnalis, editor dan writer situs entertainment. Sekarang sebagai freelance content/copy writer dan blogger. Penyuka solo travelling, kucing dan nasi goreng
Penanggungan dan Sahur di Ketinggian 1.200 mdpl
Seperti yang direncanakan, kami menanti imsak sambil saling duduk berdempetan menahan kencangnya angin Puncak Bayangan. Adzan Subuh berkumandang, ibadah dilakukan dan tak lama semburat oranye menyobek langit malam. Dari tempat kami berada, Semeru menatap dengan angkuhnya di kejauhan.
Tepat pukul enam pagi, kami perlahan berjalan mendaki lereng menuju Pawitra. Tak semudah yang kami kira karena kemiringannya cukup tajam. Di saat dahaga benar-benar membuatku kehilangan akal ingin membatalkan puasa, Pawitra menyapaku.
Aku sudah tiba di 1.653 mdpl.
Mendaki Gunung, Dulu Dibenci Kini Dinanti
Sebetulnya melakukan hobi mendaki gunung saat puasa Ramadan bisa dibilang sebagai tindakan nekat. Dalam kondisi normal saja aku butuh banyak minum, ini berpuasa. Apalagi gunung yang kami pilih pun Penanggungan, tidak terlalu landai.
Bahkan beberapa orang menyebut Penanggungan sebagai miniatur Semeru, sang Atap Pulau Jawa.
Kami berangkat dari Malang sekitar pukul empat sore dengan sepeda motor. Ibuku sempat cemas karena pendakian dilakukan di bulan Ramadan, tapi aku meyakinkannya akan tetap kuat. Setelah melakukan perjalanan darat, kami pun mampir di rumah kerabat temanku di daerah Kabupaten Mojokerto untuk berbuka puasa, istirahat, serta melakukan ibadah.
Baru sekitar pukul sembilan malam, kami tiba di basecamp Tamiajeng. Mendaki di malam hari memang lebih kusukai karena tidak panas, apalagi sedang dalam kondisi puasa. Sekitar tiga jam lamanya, pendakian super santai (sampai aku mengantuk), membawa kami tiba di Puncak Bayangan Penanggungan.
Lucu memang kalau diingat-ingat, aku sampai nekat mendaki di bulan Ramadan. Padahal aku saat lebih muda, sama sekali tak suka naik gunung. Ketika masih sekolah, aku selalu mencibir teman-temanku yang masuk organisasi pecinta alam. Para pencari lelah kalau kataku.
Orang normal macam apa yang rela mendaki gunung berjam-jam, dengan perlengkapan terbatas, berlelah dan membuat lemas otot, padahal rebahan di kamar sambil nonton jauh lebih menyenangkan.
Namun, itu semu berubah saat aku diajak mendaki Panderman di Batu untuk kali pertama.