Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua
Kuncinya adalah Menaklukan Keakuan Juga
Hari ini, Kamis (7/5/2020) merupakan hari ke-14 bulan Ramadhan 1441 H. Begitu cepat rasanya waktu berjalan. Bahkan serupa anak panah yang dilepas dari busurnya saja.
Padahal aku baru saja hendak berbenah. Ibadah puasaku pun baru sebatas menahan lapar dan dahaga belaka. Sepertinya masih jauh untuk menggapai tujuan yang sesungguhnya.
Paling tidak di momen bulan yang suci ini - sebagaimana biasanya, selalu saja aku niatkan untuk memperbaiki setiap keburukan yang muncul sejak dari dalam pikiran, perasaan, yang kemudian seringkali diekspresikan dalam sikap dan perbuatan.
Apalagi keburukan itu kalau bukan yang sifatnya negatif, tapi kerapkali pula dibantah dengan argumen: manusiawi!
Padahal tetap saja tidak layak dikemukakan alasan semacam itu bila tujuannya memang agar menjadi manusia yang seutuhnya manusia, dan makhluk yang memiliki kelebihan dari makhluk lain yang diciptakanNya.
Sebagaimana yang menjadi substansi dari ibadah puasa di bulan Ramadhan ini. Salah satunya adalah agar manusia mampu mengendalikan hawa nafsunya yang selalu saja menggoda, dan merayunya sehingga melupakan akal sehat, maupun kebenaran ilahiyah, dan pada akhirnya justru menimbulkan rasa sesal, lantaran kesadaran itu muncul setelah terbukti hawa nafsu telah menjerumuskannya ke dalam jurang kehinaan.
Oleh karena itu juga, agar tidak selalu saja terus terjatuh ke jurang yang sama, terlebih lagi mengingat usia yang semakin tua, sudah seharusnya diriku ini terus berusaha melakukan revolusi, dan berjihad, agar menjadi manusia yang tetap berjalan di jalan yang lurus - sebagaimana perintahNya.
Bahkan bisa jadi di bulan Ramadhan tahun ini, menjadi suatu momen yang tepat untuk melaksanakannya.
Betapa tidak, di saat menunaikan ibadah puasa yang kebetulan bersamaan dengan keadaan di hampir seluruh dunia ini sedang dilanda musibah akibat pandemi virus Corona, dan identik dengan suasana penuh kecemasan - kalaupun tidak dikatakan kepanikan yang luar biasa, lantaran telah menjungkirbalikan seluruh kehidupan yang sebelumnya begitu dinikmati setiap anak manusia, dan kemudian diganti dengan keprihatinan - meskipun pada akhirnya disebut budaya baru yang suka maupun tidak musti diikuti juga, maka hal tersebut bagi diriku merupakan hikmah, dan tak boleh dilewatkan untuk dijadikan tonggak awal dalam membuat perubahan.
Bukankah dengan beribadah di rumah saja, sepertinya mengingatkan kembali kepada Muhammad SAW yang seringkali mengasingkan diri di gua Hira demi mendapatkan ketenangan, dan kesempurnaan hidup setelah kemudian menerima wahyu dari Allah
Demikian juga yang konon telah dilakukan oleh Sidharta Gautama, seorang pangeran dari suatu kerajaan yang sekarang terletak di negara Nepal. Untuk mencapi kesempurnaan hidupnya - sebagaimana diimani pemeluk agama Budha, Sang Pangeran pergi meninggalkan segala kemewahan dan kemegahan yang ada dalam istana, lalu menjadi pertapa dengan segala kesederhanaannya.