Ustaz Udin si Yatim Piatu yang Tak Kenal Menyerah, Kisah Hikmah Ramadan
Ustadz Udin duduk sendiri di ujung kursi panjang di teras rumah yang sederhana. Matahari sore masih hangat memancarkan sinarnya, menerangi kepingan-kepingan memori yang menghantui kepalanya. Dia mengenang kedua orangtuanya yang telah mendahuluinya persis di ke-17 bulan Ramadhan. Berdesah dia melantunkan doa untuk mereka. Tak terasa air mata menetes, rindu akan pelukan ibu yang hangat dan ayah yang tegas dan bijaksana.
Dia teringat betul bagaimana ia duduk di kursi yang sama, bersama kedua orangtuanya yang tersenyum penuh kasih. Tapi itu semua hanya kenangan sekarang. Kedua orangtuanya telah tiada, meninggalkannya dalam kesendirian.
Udin, begitu ia biasa dipanggil, adalah anak bungsu dari 15 bersaudara. Ia memiliki 11 kakak laki-laki, dan tiga kakak perempuan.
Bahkan, beberapa dari mereka bukan saudara kandungnya, tetapi mereka tetap satu keluarga.
Ayahnya, Ahmad, adalah seorang tukang kayu yang pandai dan bijaksana. Sedangkan ibunya, Fatimah, adalah ibu rumah tangga yang penyayang dan rajin.
*****
Mereka tinggal di sebuah desa kecil di pinggiran kota, di sebuah rumah sederhana dengan atap nipah. Kehidupan mereka mungkin tidak mewah, tetapi penuh dengan cinta dan kehangatan keluarga.
Udin seringkali mengingat saat-saat bahagia bersama keluarganya, seperti saat mereka berkumpul di sekitar meja makan untuk makan malam, atau saat ayahnya bercerita tentang petualangan di hutan.
Namun, semuanya berubah ketika musibah menimpa keluarganya. Suatu hari, ketika Udin masih duduk di kelas 6 SD, mereka menerima berita yang menggetarkan hati.
Ayah dan ibunya meninggal dalam kecelakaan mobil yang mengerikan. Ikut juga meninggal 3 saudara laki-lakinya yang menemani orang tuanya menjual hasil tani mereka. Setelah selesai rencananya mereka akan langsung ke pondok pesantren, tempat tiga saudara laki-laki menuntut ilmu.