Abdul Rahim
Abdul Rahim Freelancer

I'm the moslem kontak 087863497440/085337792687 email : abdulrahim09bi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Jihad Akbar dan Terbelenggunya Setan

8 Mei 2019   16:09 Diperbarui: 8 Mei 2019   16:33 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jihad Akbar dan Terbelenggunya Setan
Sumber Foto : nu.or.id

Suatu ketika seusai dari perang Badar, Rasulullah berkumpul bersama sahabatnya, sembari beristirahat beliaupun bersabda " Kita telah kembali dari jihad (dinarasikan ketika perang) yang kecil, dan akan menghadapi jihad yang lebih besar". Para sahabat yang mendengar itu pun tercengang, sebab perang Badar yang begitu dahsyatnya beliau sebut sebagai jihad yang kecil. Rasulullah pun melanjutkan jihad yang lebih besar itu" Jihad melawan nafsu", yaitu berpuasa di bulan Ramadhan.

Jihad melawan nafsu yang dimaksudkan Rasulullah itu pun bukan sebatas nafsu jasmani ataupun rohani (biologis), akan tetapi juga melawan nafsu yang muncul dari hasrat-hasrat melakukan hal-hal yang sia-sia, ataupun sesuatu yang dirasakan hal biasa, padahal ada dosa yang ditimbulkan dari hal itu, seperti ghibah, hasad, fitnah, riya' ataupun berucap dusta. Ketika hal-hal seperti itu dianggap biasa, maka penggemblengan jihad melawan nafsu di bulan Ramadhan semestinya bisa menjadikan itu perlahan dihilangkan.

Selanjutnya hal yang sering diuraikan juga ketika memasuki Ramadhan yaitu kutipan sebuah hadits yang menyatakan bahwa "syaitan-syaitan terbelenggu" di bulan Ramadhan. Akan tetapi terbelenggunya seperti apa, bisa dikatakan banyak dari kita yang belum memahami. Lalu muncul pernyataan kalau syaitan dibelenggu di bulan Ramadhan, mengapa masih banyak orang yang melakukan dosa dengan identitas mereka pun sebagai muslim?. Inilah hal yang perlu diluruskan, bukan berarti dengan ungkapan bahwa syaitan terbelenggu lalu kita bisa merasa lebih santai karena itu. Akan tetapi ungkapan syaitan terbelenggu itu bahwa kita sendirilah yang membelenggu syaitan dengan tameng puasa kita.

Rasulullah pun melanjutkan bahwa puasa itu adalah tameng (Al shiyaamu junnatun), tameng yang dimaksud yaitu tameng dari api neraka di hari Akhir, selain itu juga tameng diri kita berjihad melawan nafsu. Intisari dari hadits Rasulullah yang menyebut puasa sebagai tameng juga dilanjutkan dengan sabda beliau " siapa saja yang mengejekmu, memfitnah, menggunjing, atau mengajakmu berkelahi di siang hari bulan Ramadhan, maka hindarilah itu dan katakanlah Aku sedang berpuasa (Inniy Sha'imun)". Pada tataran inilah puasa sebagai tameng yang dimaksud sekaligus untuk membelenggu syaitan dari diri kita sendiri.

Se-pendek pemahaman kita bahwa syaitan tidak aktif pada bulan Ramadhan lalu kita merasa santai saja dengan persepsi tidak akan adanya godaan, hal itu sama saja kita menapikan kuasa dari diri kita sendiri yang semestinya menjadi tameng dan pembelenggu utama dari syaitan. Selain belenggu karena puasa, rasa lapar juga turut berperan menjadikan kita lemah secara fisik untuk tidak melakukan atau menghabiskan tenaga dengan hal-hal yang sia-sia alih-alih hal-hal yang mendatangkan dosa dan membatalkan pahala puasa.

Penggemblengan Rohani

Sebagaimana pula halnya  dalam syair yang sering muncul pada bulan Ramadhan tentang pertanyaan seorang anak, "ada anak bertanya pada bapaknya, buat apa berlapar-lapar puasa. Ada anak bertanya pada bapaknya, tadarus-tarawih apalah artinya". Lirik dalam syair itu pun dilanjutkan dengan analogi dari ketiga pertanyaan tersebut, " Lapar mengajarmu rendah hati selalu, tadarus artinya memahami kitab suci, tarawih mendekatkan diri pada illahi".

Lapar yang dimaksud mengajarkan rendah hati selalu yaitu dengan kondisi lapar selama berpuasa kita juga dapat merasakan bagaimana orang-orang fakir, miskin berlapar-lapar dalam keseharian mereka yang selalu kekurangan. Dalam berpuasa pun sebenarnya ada kesetaraan yang terbentuk dari rasa lapar yang semua dirasakan oleh orang muslim. Orang fakir, miskin berpuasa sama halnya dengan orang kaya, pejabat, dan orang yang dimuliakan lainnya menahan lapar. Pun ketika berbuka puasa sikap rendah hati itupun tetap kita pegang dengan tidak berlebihan dan senantiasa berbagi dengan orang lain. Sebulan penuh berpuasa ini dengan sikap rendah hati yang digembleng semestinya juga bisa diapropriasi ke bulan-bulan selanjutnya pasca Ramadhan hingga bertemu kembali dengan Ramadhan-Ramadhan selanjutnya.

Makna tadarus dan analogi untuk memahami kitab suci di bulan Ramadhan ini apakah sudah tepat dengan realitas yang kita jalankan saat ini, meningkatkan pemahaman ataukah rutinitas membaca al qur'an kita masih terobsesi mengejar sekian kali menamatkan al qur'an hingga surat terakhir. Tentunya hasrat untuk memahami al qur'an dalam satu bulan ini melalui tadarus yang biasanya hanya dilaksanakan selesai tarawih tidak akan selesai, setidaknya melalui tasmi' (saling simak) tadarus itu ada gaung al qur'an yang kita hidupkan, terlebih dengan bisingnya TOA, speaker-speaker masjid yang memekakkan telingga.

Pemahaman al qur'an melalui tadarus bukan hanya saling simak bacaan saja, akan tetapi perlunya kita menggali makna-makna yang terkandung dalam al qur'an dengan menginisiasi forum-forum ilmiah membahas al qur'an yang dimulai dari Ramadhan ini sangat penting untuk dilakukan. Al qur'an terlalu sempit jika hanya sekedar bacaan yang kita lantunkan, sementara luasnya ilmu di dalamnya tidak kita pentingkan untuk digali. Misalnya, sore hari menjelang berbuka bisa dijadikan waktu yang efektif untuk menggali makna al qur'an di samping nantinya aplikasi dari pemahaman al qur'an itu pun juga menjadi jihad bagi kita.

Selanjutnya tarawih yang dijadikan sebagai media untuk semakin mendekatkan diri pada ilahi pada dasarnya juga sebagai ujian bagi kita apakah akan mengambil peluang itu ataukah justru mengabaikannya. Tarawih bukan hanya rutinitas Ramadhan yang kita lanjutkan selesai isya, namun tarawih itu pun semestinya menjadi ajang latihan kita belajar khusyu' dalam shalat yang begitu panjang. Tarawih yang hanya ada pada bulan Ramadhan bisa juga disebut sebagai bonus lebih dengan analogi tadi untuk semakin mendekatkan diri pada illahi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun