Kontestasi Politik, Ramadan, Indonesia Damai
Baru saja kita semua melewati masa kontestasi politik yang penuh dengan dinamika. Tahun politik dipenuhi dengan janji-janji politik, untuk bisa mendapatkan dukungan politik. Berbagai cara bisa dilakukan, demi terpilihnya sang kandidat. Para pendukungnya juga tak mau kalah. Mereka bisa saling mengunggulkan calonnya, dan menjelekkan pasangan yang lain. Akibatnya, bibit kebencian mulai bermunculan seiring dengan maraknya provokasi dari oknum tertentu. Tak jarang antar sesama pendukung bisa saling seteru, karena paslon yang didukung mendapatkan respon negatif dari pihak lain.
Dan jika kita melihat pemilu 2024 ini, tentu penuh dengan dinamika. Dugaan kecurangan sudah mulai dihembuskan sejak awal pencalonan. Hal ini pun akhirnya memicu terjadinya provokasi di media sosial. Banyak ahli hukum bermunculan memberikan kritikan. Banyak pengamat politik juga memberikan pendapatnya. Sementara masyarakat awam tidak paham konteks yang terjadi. Yang mereka rasakan hanya kemarahan, karena paslon yang didukung terus diganggu dengan informasi yang dianggap bisa menjatuhkan.
Tahun politik memang seringkali diwarnai dengan amarah. Tahun politik semestinya diwarnai dengan adu gagasan, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Berusaha untuk menang dengan cara instan. Dan hal ini hampir sering dilakukan oleh semua pasangan calon. Alhasil, pemimpin yang terpilih bukan sepenuhnya pemimpin yang matang, yang benar-benar memahami persoalan yang dihadapi.
Kini, calon presiden dan wakil presiden terpilih sudah ada. Tinggal penetapan dan siap menjalankan aman. Dan kini, tinggal proses hukum berjalan. Dugaan kecurangan politik digugat ke mahkamah konstitusi. Tentu saja hal ini diperbolehkan, karena mekanisme hukumnya memang seperti itu. Namun apapun hasilnya nanti, diharapkan seluruh elemen masyarakat bisa menerimanya. Jika hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, tugas kita semua menjadi fungsi kontrol selama lima tahun kedepan.
Mari saling mengendalikan diri. Di bulan Ramadan seperti sekarang ini, menjadi momentum buat kita semua, untuk menghilangkan segala bentuk ketegangan politik. Mari cooling down, mari menatap masa depan yang akan dipenuhi dengan tantangan baru. Masa depan tidak akan bisa dilewati, jika diantara kita masih terus saling serang, saling hujat dan saling memprovokasi satu dengan lainnya.
Esensi berpuasa pada dasarnya adalah mengendalikan hawa nafsu. Inilah jihad yang sesungguhnya. Dengan bisa saling mengendalikan amarah karena kekalahan dalam politik, diharapkan bisa mewujudkan kondisi sosial yang lebih tenang dan damai. Tidak usah terus memunculkan perselisihan dan polarisasi. Mari legowo menerima kepemimpinan yang sudah ada, dan mari bergandengan tangan untuk menjalankan fungsi kontrol kedepan.
Ingat, Ramadan mengajarkan untuk mengedepankan rekonsiliasi dan perdamaian. Ramadan tidak pernah mengajarkan untuk memelihara permusuhan. Jangan kotori kesucian Ramadan ini, dengan hal-hal yang berkonotasi negatif. Ramadan juga mengajarkan untuk mengedepankan toleransi. Karena pada dasarnya kita semua adalah bersaudara. Seperti yang dijelaskan dalam Al Quran, dalam QS Al Hujurat (49:10), "Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat."
Karena kita bersaudara, maka hentikan segala bentuk permusuhan yang mungkin ada ketika tahun politik. Hentikan segala bentuk kebencian yang mungkin masih ada setelah kontestasi politik. Mari kita jaga kemajemukan Indonesia, agar tetap bisa berdampingan dalam keberagaman. Mari kita jaga jaga Indonesia, agar tetap menjadi negara yang damai, toleran, dan mengedepankan kemanusiaan. Salam.