Tembaha Wula Tradisi Menyambut Ramadhan Masyarakat Suku Muna
Berdasarkan catatan sejarah tradisi Tembaha Wula ini telah dilakukan sejak Islam pertama kali masuk ke Pulau Muna yang konon dibawah oleh Syekh Abdul Wahid. Pada masa pemerintahan Raja La Posasu, sekitar abad XV masehi.
Namun seiring perjalanan waktu, tradisi Tembaha Wula dengan praktek menembakkan meriam ke langit sudah tidak lagi dilakukan di era Raja La Ode Dika, yang memerintah pada tahun 1930-an.
Tradisi Tembaha Wula hingga kini masih sering dilakukan oleh masyarakat Muna dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan. Namun demikian, pelaksanaannya tidak lagi dengan menggunakan meriam dan juga tidak lagi terpusat di Masjid Muna.
Setelah ritual menembak bulan dilaksanakan, kemudian dilanjutkan dengan menggelar apa yang disebut oleh masyarakat Muna dengan Haroa Tembaha Wula atau Haroa menyambut datangnya awal Ramadhan.
Pelaksanaan Haroa ini, masyarakat atau anggota keluarga berkumpul sebagai bentuk rasa senang dan bersyukur karena masih dapat berjumpa kembali dengan bulan Ramadhan. Hal ini diwujudkan dengan memanjatkan doa bersama untuk keselamatan, keberkahan rezeki serta doa untuk para leluhur yang dibimbing oleh tetua adat kampung.
Prosesi Haroa ini dilengkapi dengan aneka sajian makanan yang diletakkan di dulang yang berisikan berbagai jenis makanan untuk disantap bersama setelah pembacaan doa selesai.
Sajian makanan Haroa ini adalah menu khusus yang mesti ada saat Haroa seperti waje (wajik), cucur, srikaya, lapa-lapa (nasi ketan yang dibungkus daun kelapa) dan ayam parende, serta jenis makanan khas lainnya.