Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?
Menghidupkan Ramadhan dengan Sembahyang 40 Hari
Ramadhan dan hidupnya tradisi Sembahyang 40 hari di sebagian nagari di Kabupaten Padang Pariaman. Sebulan penuh mengikuti shalat lima waktu secara berjamaah, tak pernah putus meskipun satu waktu shalat.
Itulah yang disebut dengan Sembahyang 40. Yakni, shalat lima waktu sehari semalam secara berjamaah. Diadakan dalam satu surau.
Khusus di Nagari Balah Aie lama, hampir seluruh surau menyelenggarakan Sembahyang 40 selama Ramadhan, yang dimulai 10 hari jelang puasa masuk.
Seperti di Surau Pekuburan. Banyak perempuan tua yang ikut Sembahyang 40 di situ tiap tahunnya. Sembahyang 40 dituntut bagi peserta yang perempuan tidak lagi punya halangan bulanan.
Makanya, yang ikut itu rata-rata perempuan yang tidak lagi punya beban hidup. Suami sudah tidak ada yang akan diurus, anak-anak sudah besar semua, dan telah punya kehidupan sendiri pula.
Surau Pekuburan adalah nama asli Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuk Pua. Surau ini milik masyarakat, tak pernah absen dari shalat berjemaah setiap waktu.
Menurut Buya Zainuddin Tuanku Bagindo Basa, Sembahyang 40 itu biasanya pakai "kadha", setiap waktunya. Artinya, satu shalat dikerjakan dua kali secara berjamaah.
Namun, ada pula orang membuat tak dua kali. "Yang disebut Sembahyang 40 itu adalah berjamaah selamat 40 hari," kata dia.
Jadi, yang melakukan dua kali itu niatnya untuk mengganti shalat yang tinggal atau bolong-bolong dulunya.
Maklum, perempuan banyak sekali halangannya untuk meninggalkan shalat. Dan untuk menjemput yang tertinggal tersebut, ya dibuat shalat kadha tiap waktu.