Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?
Cerita Beli Daging Beronggok dan Tanggung Jawab Seorang Mamak
Orang nagari biasanya menyembelih usai shalat Idul Fitri, sedangkan di Tembok pas orang melihat bulan, atau sehari jelang lebaran.
Rendang dan Idul Fitri ini selalu berbarengan. Tak ada hari raya, kalau tidak ada rendang di rumah masyarakat.
Itulah filosofinya lebaran di Rantau Piaman dan Minangkabau tentunya. Membeli daging beronggok, adalah bagian dari nilai-nilai kebersamaan dan membangun surau dan masjid secara bersama.
Sebab, keuntungan dari daging beronggok itu diserahkan ke surau, untuk pembangunan.
Dulunya, setiap laki-laki di atas rumah punya onggok daging. Artinya, sebagai mamak rumah, harus nama laki-laki itu yang dikemukakan saat pengumuman jumlah onggok daging setiap tahunnya.
Kadang, seorang mamak itu bisa mengkapling sampai 15 onggok, saking banyaknya sanak kemenakannya.
Tentu, onggok yang sebanyak itu telah dia intruksikan kemenakannya untuk menjemput ke surau, saat pembagian daging.
Paling, untuk dia bawa ke rumah istrinya satu sampai tiga onggok. Begitulah tanggungjawab moral seorang mamak di rumah sanak kemenakannya.