Menulis prosa dan artikel lainnya. Terakhir menyusun buku Nyukcruk Galur BATAN Bandung.
Mumpung Masih Ada Kesempatan
Kita harus yakin bahwa jika kita berniat untuk memperbaiki diri, maka Allah akan mengampuni kesalahan-kesalahan kita, "Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Az Zumar: 53)53.
Kemudian yang ketiga, sebagai orang yang beriman harus yakin bahwa pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan itu ada satu malam yang sangat istimewa, yaitu Lailatul Qadr. Untuk itu, selayaknya dapat disikapi secara bijak. Jangan sampai kita hanya mengejar memperoleh Lailatul Qadar, sementara melupakan target utama melaksanakan ibadah shaum wajib di Bulan Ramadhan, yaitu agar menjadi orang yang bertakwa.
Allah SWT berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183). Begitu jelas firmaNya target melaksanakan ibadah shaum Ramadhan adalah agar menjadi orang yang bertakwa.
Oleh karena itu, kita jadikan kesempatan yang ada kali ini sebagai momen peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan. Momen untuk bermuhasabah dengan cara bertafakur dan bertadzakur.
Bertafakur untuk memfungsikan pikir demi mencapai pemahaman akan hakikat hidup yang sebenarnya hidup. Bukan hidup sekedar hidup, sebagai gumpalan jasad dan sosok tubuh sempurna tapi mati-rasa, mati-pikir, dan mati-nurani. Menjadi manusia-manusia al-basar, makhluk jasadiyah belaka, tidak sebagai al-insan, hamba Allah yang mulia dan berperadaban agung.
Lantas kita juga perlu melakukan tadzakur untuk mengenal Dzat Yang Maha Hidup, untuk menumbuhkan roja' dan khauf demi memperoleh ridhaNya, demi taqarub kepada-Nya. Demi mencapai totalitas penghambaan dan perjumpaan dengan-Nya di hari akhirat nan abadi.
Kita tidak perlu menghitung kembali kebaikan yang telah kita lakukan, agar kita tidak menjadi manusia yang selalu berpamrih, tapi kita perlu menghitung kembali keburukan dan kesalahan yang pernah kita lakukan: Sudah berapa banyak perintah Allah dan rasul-Nya kita langgar dan kita abaikan? Sudah berapa kali kewajiban kepada Allah dan Rasul-Nya kita khianati? Sudah sejauh mana kita lari menjauh dari rahmat dan ridla Allah ?
Kita sungguh tidak berharap untuk menjadi manusia yang raganya hidup, tapi hatinya mati. Kita pun tidak ingin menjadi mayat hidup, yang berlenggang dengan gemulai namun rasa, pikir, dan nuraninya mati.
"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai" (QS. Al-'Araf/7: 179).
Memang, tidak mudah menjalani siklus hidup yang penuh makna dan kemuliaan, sebagaimana kehidupan para penerus risalah Nabi yang utama itu. Tidak mudah, bukan berarti tidak dapat dilakukan. Kemuliaan dan kesempurnaan hidup adalah mutiara bagi siapa pun yang ingin meraihnya, kendati semua hal di dunia ini selalu terkena hukum nisbi dan tak sepenuhnya ideal. Satu hal yang jelas, jangan biarkan siklus hidup kehilangan makna dan keutamaan. Apalagi mati-suri, hidup namun hampa. (*)