Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Penulis

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Salahkah Rebahan Kala Ramadan?

10 Mei 2020   20:03 Diperbarui: 10 Mei 2020   19:59 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salahkah Rebahan Kala Ramadan?
Ilustrasi rebahan. | Gambar: Shutterstock via Kompas.com

Tentu, ini bukan menjadi suatu ironi. Karena saya juga telanjur menyukainya. Mungkin saat SD atau SMP saya masih merasa sedih, karena harus rutin berjalan minimal 2 km (pp) untuk bersekolah.

Belum lagi jika saat penjaskes, materinya adalah marathon. Habis sudah pasokan kalori saya bukan?

Ditambah dengan fakta, bahwa saya jarang sarapan. Karena bagi saya sarapan cukup membuang waktu. Bukankah saya harus berjalan bahkan berlari kecil demi cepat sampai? Berapa waktu yang akan saya buang?

Tentu hal ini tak akan mendorong saya untuk sengaja terlambat sampai ke sekolah, karena jelas akan dinasehati oleh guru jika saya terlambat. "Menyiapkan diri lebih pagi, biar tidak telat", kira-kira begitu.

Sampai kemudian, saya sekarang seringkali menemukan rasa iba dari orang lain jika mengetahui saya jalan kaki. Memang, faktor ekonomi melandasinya saat dulu bersekolah. Namun sekarang, banyak faktor yang membuat saya masih suka berjalan kaki, apalagi jika "hanya" 1 km. Ketjil!

Berjalan kaki bagi saya menguatkan persendian pada kaki. Melatih fleksibilitas tubuh--tapi bukan untuk menjadi manusia karet, sampai memiliki detak jantung yang stabil. Sebagai orang yang gampang membayangkan sesuatu, saya cenderung sering deg-degan ketika membayangkan hal-hal yang menakutkan.

Melihat tiga fungsi itu, saya cenderung ikhlas untuk berjalan kaki, walau harus sampai ke tempat tujuan dengan keringat membasahi dahi dan tangan. Tetapi demi kebutuhan tubuh, saya mau melakukannya.

Dari kebiasaan inilah, tubuh saya sekali lagi tak pernah gemuk. Bagaimana bisa gemuk jika setelah makan malah digunakan untuk berjalan minimal 200 meter? Belum lagi jika harus menemukan jalan yang tidak rata, saya tentu butuh kekuatan dan kebiasaan untuk melaluinya.

Jalanan yang biasanya saya lalui ketika hendak ke kampus. | Gambar: Dokpri/DeddyHS
Jalanan yang biasanya saya lalui ketika hendak ke kampus. | Gambar: Dokpri/DeddyHS
Inilah yang membuat saya merasa bahwa olahraga tidak harus seperti yang disarankan instruktur olahraga. Melalui kebiasaan hidup, itu juga bisa disebut berolahraga. Apakah berjalan kaki adalah olahraga?

Tentu saja. Bahkan, saya secara pribadi tak setuju jika berjalan hanya dianggap olahraga ringan. Karena yang dimaksud berolahraga dengan berjalan kaki adalah berjalan dengan jarak tempuh yang tak dekat. Minimal 100 m bolak-balik dengan kecepatan tertentu, alias tidak dengan melenggak-lenggok.

Jika seperti itu, olahraga jalan kaki juga cukup untuk membakar kalori di dalam tubuh yang biasanya berlebih. Namun, sayangnya bagi saya kebutuhan kalori sepertinya tak pernah berlebih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun