Siapa Orangnya
Bulan Ramadan menjadi momentum untuk netralisasi, menjadi manusia yang ‘netral’. Bukan netral dalam hal keberpihakan politik atau pilihan hidup, melainkan netral dalam artian ‘bersih hati’. Memilih melupakan kesalahan orang terhadap diri kita, seberapa pun besarnya, dan mengingat kebaikan orang lain kepada kita, betapa pun kecil dan remehnya.
Dengan cara itu diharapkan kadar sakit hati berkurang secara signifikan dan pikiran bisa ditujukan ke lain-lain perkara yang lebih produktif. Akan tetapi siapa orangnya yang sanggup berbuat demikian?
Dalam rangka netralisasi itu secara harfiah sebagian orang menerjemahkannya dalam bentuk saling meminta maaf sebelum berpuasa, ‘nyekar’ ke makam orang tua dan karib kerabat, bahkan mungkin masih ada kalangan masyarakat tradisional yang melakukan ritual mandi sebagai simbol pembersihan diri.
Dalam Islam dikenal anjuran ‘uzlah’ yakni memencilkan diri, mengurangi kadar interaksi sosial guna memelihara agama yang dirundung fitnah demi fitnah. Akan tetapi Islam pula mengajarkan bahwa muslim yang tetap berada di tengah masyarakat, bersabar atas segala gangguan yang ia terima dan berupaya menetralisasi kekeruhan yang timbul akibat aksi negatif orang lain: kekerasan verbal, atau perundungan—adalah lebih utama dari muslim yang memilih beruzlah.
Seakan-akan Islam mengajarkan bahwa kapasitas hati manusia yang bersabar dalam pergaulan itu lebih besar dan lebih utama daripada kapasitas manusia yang beruzlah. Siapa orangnya yang mampu tetap tersenyum dalam keadaan terus menerus diusik? Hanya manusia dengan kapasitas hati yang sangat besar dan lapang yang sanggup menanggung semuanya. Imam Ahmad bin Hambal pun pada akhirnya memaafkan Ibnu Abi Duat – figur ulama seteru Imam Ahmad yang memfitnah beliau hingga dihukum cambuk dan dipenjara oleh Khalifah Al-Makmun.
Adapun untuk manusia pada umumnya, dengan kaliber hati yang kelasnya rata-rata, disediakan mekanisme pembelaan diri dan mekanisme pengadilan, qisas. Minimalnya pengabulan doa. Ini lantaran Allah Maha Adil, Dia berpihak pada kaum yang tertindas.
Kyai Kosim Nurseha yang ceramahnya dulu saya dengar tiap pagi di radio –sewaktu usia SMA—pernah bilang bahwa salat itu netralisasi bukan konsentrasi. Netralisasi dari urusan-urusan dunia yang bikin penat, yang bikin hati condong ke timur dan ke barat. Dinetralisasi lagi dengan ibadah, mengingat Allah, bersih-bersih lagi layaknya orang yang senantiasa mandi. Karena perkara dunia itu ibarat lumpur yang mesti dicuci dan dibilas. Lima kali sehari.
Yang merasa sudah sukses, banyak duit, banyak jejaring pertemanan, banyak relasi, banyak aset, biasanya mulai percaya diri, lewat sedikit dari percaya diri akhirnya arogan. Dengan salat potensi arogan itu ditundukkan dengan keharusan rukuk dan sujud.
Yang merasa miskin dan dibelit masalah ini dan itu bisa punya pelarian dengan mengadu kepada Tuhan. Merasa ada tempat bergantung dan mendoa. Ibadah itu menjadi penghiburan dan sarana netralisasi hati yang mulai putus harapan. Kenapa putus harapan sementara Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang?
Dengan ibadah diingatkan pula bahwa dunia ini hanya sementara. Kalau kamu cape tokh nanti dunia itu bakal kau tinggalkan. Yang penting kau berperilaku apik dan terus berbenah mendekat kepada Tuhan, agar akhiratmu tidak berantakan.
Kalau kita tanya kalangan kedokteran mereka pun jujur mengakui bahwa tubuh yang dilaparkan untuk jangka waktu tertentu justru menumbuhkan daya tahan yang lebih. Dengan kalimat lain, puasa itu diperlukan guna menetralisasi racun-racun (detoksifikasi). Tidak lama, hanyalah dalam bilangan hari yang tertentu dan terbatas (ayyaman ma’dudaat).