Dewi Murniati
Dewi Murniati Mahasiswa

seorang mahasiswa yang ingin kembali menekuni dunia fiksi dengan segala imajinasi dan kreasi tanpa ada sensasi.

Selanjutnya

Tutup

TRADISI

Sedikit Kisah Tradisi Ruwahan

31 Maret 2023   13:48 Diperbarui: 31 Maret 2023   13:50 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sedikit Kisah Tradisi Ruwahan
Tradisi. Sumber ilustrasi: UNSPLASH

Ruwahan atau yang disebut juga dengan arwahan ialah sebutan untuk ziarah makam bagi orang Jawa yang dilakukan tepat di bulan sya'ban. Umumnya masyarakat melakukan kunjungan ke makam orang tua ataupun sanak saudara yang sudah terlebih dahulu wafat. Disana mereka melakukan pembersihan makam serta membacakan doa-doa untuk para ahli kubur tersebut. Lalu, bagaimana dengan perantau yang tidak dapat pulang ke kampung halaman dan melakukan ziarah makam secara lansung?

Sebagai perantau di Kalimantan, keluarga saya pun merasakan hal demikian. Adanya kendala biaya membuat kami rela tak mudik untuk beberapa tahun. Tiap tahun kami hanya bertukar kabar lewat video call, bahkan ketika kakek meninggal taka da satupun dari kami yang pulang. Sebagai gantinya orang tua saya hanya menggelar tahlilan sederhana untuk mendoakan almarhum kakek disana. 

Dahulu ibu sering membeli bunga ke pasar lengkap dengan kue khas untuk acara ruwahan ini, yakni kue apem. Membuat rendaman bunga dengan segelas air dan meletakkannya d sudut ruangan lengkap dengan kue apem, segelas kopi pekat, serta kertas bertuliskan nama-nama sanak saudara yang telah wafat dan sebuah lilin (sesajen/sesaji). Disitulah orang tua saya berdoa untuk keselamatan mereka di alam kubur.

Untuk beberapa tahun ini, kebiasaan tersebut sedikit saya ubah. Tak ada lagi bunga dan kue untuk sesaji. Saya dan keluarga kini hanya menggelar yasinan serempak seusai shalat Maghrib. Saya meminta keluarga saya untuk melakukan acara ruwahan secara aman, benar-benar untuk meperbanyak doa-doa keselamatan  saja untuk mereka yang telah wafat serta kami yang masih hidup. Disamping mubazir, pun posisi kami sangat jauh dari makam sanak saudara/para leluhur kami. Sehingga menyiapkan sesaji saya rasa tidak perlu.

Tindakan tersebut saya lakukan bukan semata-mata untuk mengubah tradisi. Melainkan untuk menghindari anggapan buruk, mengingat posisi kami yang tak sepulau dengan mereka (sanak saudara/para leluhur)saat ini. Disamping itu, kami tetap menghargai dan melaksanakan adanya tradisi ruwahan atau arwahan ini.

Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun