orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.
Lebaran, Ketika Pintu-pintu (Hati) Terbuka
"Mboten mas. Pokoke dhahar riyin, mangkih sek pareng kundur," kata Mbah Kotim. Tidak mas. Pokoknya makan dulu, baru boleh pulang. Mbah Kotim melarang kami pulang sebelum mecicipi hidangan lebaran yang dihidangkan di meja ruang belakang rumahnya.
**
Mbah Kotim tinggal di dusun Butuh Kulon. Tinggal di rumah menghadap ke selatan yang dibangun bertahap.
"Awalnya rumah ini dibangun berdinding anyaman bambu, lalu saya perbaiki dengan tembok setelah uang terkumpul," lanjutnya bercerita. Mbah Kotim kalau tidak keliru memiliki tiga orang anak. Satu perempuan dan dua lelaki.
"Dulu awal berdagang saya diajari Pak Niti," katanya mengingat.
Pak Niti adalah tetangga di Posong. Yang memiliki banyak sawah dengan hunian bertanah luas. Dapat mencapai 5.000 m2.
"Pak Niti berpesan supaya berdagang beras saja supaya bisa sambil momong," lanjut Mbah Kotim.
Ia bercerita dulu bekerja sambil momong si sulung perempuan. Air susunya sampai tumpah membasahi bajunya. Maka Pakde Niti, begitu saya memanggil, timbul rasa kasihan. Dan menyarankan berdagang yang secara waktu dan tenaga lebih leluasa.
Pernah berdagang beras, buah-buahan, singkong atau apa saja yang menghasilkan uang.
"Riyin saged tumbas griya sisih wetan nika mas, gendhenge 1.600," ceritanya mengenang.