Dan, Lebaran Lagi: Sebuah Tinjauan Epistemologis
Hari Raya Idulfitri dalam budaya Sunda biasa disebut Lebaran atau Boboran.
Lebaran, menurut Ahli Bahasa dari Universitas Negeri Yogyakarta, Prof. Dr. Zamzani berasal dari bahasa Jawa yakni lebar yang berarti selesai atau usai, seperti pada lebar udan, lebar mangan, lebar subuh, lebar Senin. Pernyataan Zamzani ini juga dikutip oleh Ellyvon Pranita dalam Asal Usul Kata Lebaran, Bukan Serapan Bahasa Arab hingga Tradisi Hindu. "[Menurut Ivan Lalin,] Ada empat bahasa daerah yang disebut menjadi asal kata Lebaran, yaitu bahasa Jawa 'lebar' (selesai), bahasa Sunda 'lebar' (melimpah), bahasa Betawi 'lebar' (luas), dan bahasa Madura 'lober' (tuntas). 'Konon juga, budayawan Umar Khayam menyatakan bahwa tradisi perayaan Lebaran dimulai pada abad ke-15 di Jawa oleh Sunan Bonang, salah seorang anggota Wali Songo,” jelas Lanin. 'Arti yang lain merupakan interpretasi. Saya belum menemukan sumber autentik. Etimologi atau asal kata memang kerap sulit ditelusuri,'"kutip Pranita dari pernyataan Ivan Lanin.
Saya sendiri berpendapat bahwa secara etimologis nampaknya Lebaran berasal dari kata Sunda, 'lubar' yang mengandung arti: bubar, hilang, atau habis. Makna ini senafas dengan jiwa Idulfitri, yaitu saling membubarkan kesalahan, menghilangkan dendam kesumat dan habisnya segala keburukan dalam hati. Pendapat saya ini diperkuat dengan adanya sebutan Boboran untuk Lebaran.
Menurut Kamus Sunda Net, kata 'bobor' dalam bahasa Sunda, berarti: berbuka puasa atau bobol. Dalam kandungan makna kata ini, Lebaran berarti sebuah hari untuk merayakan berakhirnya masa berpuasa dan bobolnya sekat-sekat yang menghalangi satu pribadi dengan lainnya akibat permusuhan, kebencian dan sebagainya.
Satu lagi: Ketupat
Dalam Mengunyah Sejarah Kupat di Historia, Jay Akbar mengutip penjelasan Slamet Mulyono tentang filosofi di balik ketupat (kupat) dan janurnya. Kata 'kupat' merupakan gabungan dari dua kata 'ngaku lepat' yang dalam bahasa Jawa dan Sunda berarti mengaku salah. Kupat atau ketupat merupakan simbolisasi dari pengakuan bersalah. Sementara janur yang menjadi bahan pembuatan cangkang ketupatnya merupakan parafrasa---kirata, dalam bahasa Sunda---dari 'jatining nur', hati nurani.
Sementara Mela Arnani di harian Kompas sambil mengutip penjelasan Fadly Rahman, seorang penulis buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia, menulis:
"Selain itu, simbolisasi lain dari ketupat adalah laku papat (empat laku) yang juga melambangkan empat sisi dari ketupat. Ada nilai keislaman dalam asal usul ketupat, makanan khas Lebaran yang selalu ada di setiap Hari Raya Idul Fitri. Sunan Kalijaga membaurkan pengaruh Hindu pada nilai keislaman, sehingga menjadi akulturasi yang padu di antara keduanya.
Kendati menjadi makanan untuk Lebaran, Fadly tidak memungkiri, sejarah ketupat bisa jadi berasal dari zaman Hindu-Budha di Nusantara. 'Secara tertulis dalam prasasti yang diteliti oleh para ahli, tak disebut secara spesifikasi merujuk ke ketupat, tetapi indikasi makanan beras yang dibungkus nyiur sudah dilakukan sebelum masa pra-Islam,' jelas Fadly. Pada zaman pra-Islam, bahan makanan nyiur dan beras dijadikan sebagai sumber daya alam yang dimanfaatkan sebagai makanan oleh masyarakat zaman itu.
Adapun masyarakat di Bali hingga saat ini menggunakan ketupat dalam ritual ibadah. Lebih lanjut, makanan ketupat tidak hanya ditemukan di Indonesia, melainkan dapar dijumpai di kawasan Asia Tenggara lainnya, khususnya negara yang penduduknya ada dari Suku Melayu."
Saya rasa Labaran ini, ketupat tidak lagi akan sama. Sebab, tiap gigitannya memberi arti dan tiap kunyahannya membawa makna.