Penjaga Malam dan Pengawal Fajar
Ramadan kembali menyapa. Ia datang sembari menawarkan tak berbilang karunia dan kesempatan untuk menjadi lebih baik. Sungguh merupakan sesuatu yang tidak bisa dilewatkan begitu saja.
Saat mengawali Ramadan 1445 H kemarin malam, terbetik dalam pikiran untuk sedikit menelisik tentang salat Tarawih yang merupakan salah satu kekhasan Ramadan. Tarawih dalam redaksi hadits lazim disebut juga qiyamu Ramadhan (berdiri shalat di malam Ramadhan) sebagaimana dijumpai dalam hadits berikut:
"Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni, barangsiapa yang shalat di malam hari di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni, dan barangsiapa yang melewati Lailatul Qadar (Malam Ketetapan) dalam shalat dengan iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni." (HR Bukhari -Muslim)
Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kata tarwihah yang berarti "waktu sesaat untuk istirahat". Secara bahasa disebut demikian karena kebiasaan orang yang melakukannya rihat sejenak di antara dua kali salam atau setiap empat rakaat. Namun, yang menarik saat kita coba elaborasi Tarawih secara semantik.
Mari kita perhatikan hadits berikut:
"Ya Allah, perbaikilah bagiku agamaku yang menjadi pelindung urusanku, dan perbaikilah bagiku duniaku yang berisi penghidupanku, dan perbaikilah bagiku akhiratku yang berisi permusuhanku, dan jadikanlah kehidupan sebagai tambahan bagiku dalam segala kebaikan, dan jadikanlah kematian sebagai istirahat (keringanan) bagiku dari segala keburukan." (HR Muslim)
Dalam perspektif istirahat yang dimaksudkan dalam hadits di atas, Tarawih mengandung arti atau dapat dimaknai sebagai rehat atau berhenti sementara dari keburukan yang mungkin terjadi selama malam jelang tidurnya. Dari sudut pandang ini pula hendaknya Tarawih tidak dilakukan dengan tergesa-gesa, hendaknya dengan tenang dan penuh kebahagiaan. Layaknya mereka yang tengah istirahat menikmati setiap detik dari moment tersebut.
Makna lain yang tersirat, Tarawih adalah sebentuk maut sementara. Sama halnya dengan shaum (puasa) yang tak lain adalah sebentuk maut sementara juga. Bukankah tidak makan, tidak minum, bahkan dalam bentuk ekstremnya saat beritikaf ia yang berpuasa bahkan tidak bicara dan tidak berhubungan suami istri bagi yang sudah berkeluarga? Dan kesemua itu merupakan ciri-ciri orang sudah dikenai maut. Tarawih begitu lekat dengan Ramadan. Itulah mengapa Rasulullah saw dengan indahnya menamai Tarawih dengan qama atau qiyamu Ramadhan, yakni salat yang khusus melakat pada Ramadan. Atau, bila ditilik secara umum, Tarawih termasuk Qiyamul Layl (KBB menulisnya sebagai Qiamulail) yang artinya berdiri untuk salat di waktu malam tanpa ada persyaratan harus tidur terlebih dahulu.