Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Guru

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Vox Populi, Vox Dei: Dalam Tilikan Ramadan

4 April 2024   07:19 Diperbarui: 4 April 2024   07:45 922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Vox Populi, Vox Dei: Dalam Tilikan Ramadan
Diambil dari www.kompas.com

Vox populi, vox Dei, menurut Wikipedia, adalah traktat Whig pada tahun 1709, yang diberi judul sesuai dengan frasa Latin yang berarti "suara rakyat adalah suara Tuhan". Traktat ini diperluas pada tahun 1710 dan kemudian dicetak ulang sebagai "Penghakiman Seluruh Kerajaan dan Bangsa: Mengenai Hak, Kekuasaan, dan Hak Prerogatif Raja, serta Hak, Keistimewaan, dan Properti Rakyat." Penulisnya tidak diketahui, namun kemungkinan Robert Ferguson atau Thomas Harrison. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Daniel Defoe atau John Somers adalah penulisnya.

Philip Hamburger dalam Law and Judicial Duty,  berpendapat bahwa frasa Vox populi, vox Dei dikemukakan sekira awal tahun 1327 oleh Uskup Agung Canterbury Walter Reynolds yang mengajukan tuntutan terhadap Raja Edward II. Sejak Reynolds dan seterusnya, menurut David Lagomarsino, Charles T. Wood dalam The Trial of Charles I: A Documentary History, penggunaan frasa Vox populi, vox Dei secara politis dalam bahasa Inggris lebih disukai, tanpa merujuk pada konteks alternatif penggunaan oleh Alkuin (735-804). Alkuin - beberapa sumber menyebutnya Ealhwine, Alhwin atau Alchoin - ironisnya justru mengutip frasa tersebut untuk menasihati kaisar Charlemagne agar menolak ide demokrasi yang berbahaya dengan alasan bahwa "kegaduhan massa selalu dekat dengan kegilaan". 

Richard Knight dalam sebuah forum diskusi menulis. Apa yang sebenarnya dikatakan oleh Alkuin adalah, "Nec audiendi sunt qui solent docere, 'vox populi, vox Dei,' cum tumultuositas vulgi semper insaniae proxima est. Bahwa kita juga tidak boleh mendengarkan mereka yang mengatakan “suara rakyat adalah suara Tuhan” karena gejolak massa selalu mendekati kegilaan." Tapi malang bagi Alkuin, frasa yang dikutipnya tadi di kemudian hari malah menjadi jantungnya demokrasi. Sebagaimana tersirat dalam pembentuk kata demoktrasi, demos (rakyat) dan kratia (kekuasaan), kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.

Menarik untuk dicatat, Uskup Agung Canterbury Walter Reynolds -- seperti disebutkan Lagomarsino dan Wood -- mengutip frasa tersebut dari sebuah pepatah Carolingian kuno, boleh jadi Alkuin pun merujuk kepada pepatah kuno yang sama. Jadi keduanya bukanlah penemu frasa tersebut. 

Vox Populi, Vox Dei vs Vox Populi, Vox Diaboli

Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak ada satu tesis pun yang ditakdirkan untuk disepakati tanpa antitesisnya. Termasuk frasa vox populi, vox Dei. Bila ternyata suara rakyat ternyata tidak lagi sesuci yang seharusnya, maka kondisi ini melahirkan frasa yang baru: vox populi, vox diaboli -- suara rakyat adalah suara iblis. Dalam demokrasi yang transaksional, demokrasi yang sebatas istilah dengan rakyat yang sudah direkayasa secara sosial, maka frasa ketus vox populi, vox diaboli tidak bisa dipandang sebagai ekspresi anti demokrasi belaka. Paparan Carole Cadwalladr di TED Talk dengan judul Facebook's role in Brexit -- and the threat to democracy dengan tegas membeberkan peran media sosial dalam keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa, biasa disingkat Brexit, adalah penarikan diri Britania Raya dari Uni Eropa sebagai hasil dari referendum Brexit yang diadakan pada Kamis 23 Juni 2016. 

Cadwalladr bertanya kepada salah seorang warga kota Ebbw Valle tentang alasan mengapa ia memilih Inggris untuk keluar dari Uni Eropa, ia bercerita bahwa ia memilih keluar, karena Uni Eropa tak berbuat apa-apa untuknya. Dia muak dengan hal itu. Dan di seantero kota, orang-orang berkata hal yang sama. Mereka bilang, mereka ingin mengambil kembali kendali, yang juga merupakan salah satu slogan kampanye. Dan mereka bilang bahwa mereka paling muak dengan imigran dan pengungsi. Padahal, kata Cadwalladr, anehnya ia saat berjalan-jalan, ia tak bertemu imigran atau pengungsi. 

"Ada wanita Polandia yang bercerita hampir-hampir hanya dia pendatang di kota ini. Ketika mengecek angkanya, saya temukan bahwa Ebbw Valle punya tingkat imigrasi terendah di negara ini. Saya pun jadi bingung, karena tak bisa sepenuhnya mengerti dari mana orang-orang ini mendapat informasi itu. Sebab media berhaluan kananlah yang memuat semua cerita tentang imigrasi ini. Dan daerah ini sebetulnya kubu pertahanan politik kiri.

Namun setelah artikel saya terbit, seorang wanita mengontak saya. Dia berasal dari Ebbw Vale, dan bercerita tentang segala hal yang dilihatnya di Facebook. Saya bilang, 'Hal apa?' Dia pun menjawab dengan hal-hal menakutkan tentang imigrasi, dan khususnya tentang Turki. Saya pun mencoba mencari tahu. Tapi tidak ada apa-apa. Karena tidak ada arsip berisi iklan-iklan yang mereka lihat atau apa pun yang dicekoki ke pasokan berita mereka. Tak ada jejak apa pun, hilang dalam gelap. Referendum ini, yang berefek besar dan permanen terhadap Britania -- efek besarnya bahkan sudah terlihat: produsen mobil Jepang yang datang ke Wales dan area timur laut sebagai ganti kerja tambang -- mereka telah pergi karena Brexit.

Dan seluruh referendum ini berlangsung dalam kegelapan, karena mengambil tempat di Facebook. Dan yang terjadi di Facebook, tetap berada di Facebook, sebab cuma Anda yang melihat pasokan berita itu, lalu hilang, hingga tak mungkin untuk meneliti apa pun. Maka kami tak tahu siapa yang melihat iklan-iklan itu atau dampak yang mereka dapat, atau data yang dipakai untuk menyasar mereka. Bahkan siapa pemasang iklannya, berapa banyak uang yang keluar, atau bahkan negara asal mereka," papar Cadwalladr.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun