Manajemen Pendidikan UNJ tahun 2013. Pendidikan Seni Rupa IKIP Bandung lulus tahun 1986. Menjabat sebagai direktur media SATUGURU sejak tahun 2021 hingga sekarang. Aktif di Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI) sejak tahun 2020. Menjabat sebagai kepala sekolah di beberapa SMA sejak Tahun 2009 hingga sekarang.
Salat Ied di Negeri Nyi Roro Kidul. Parang Tritis, Bantul, Yogyakarta. Layak di Tiru
Tapi kini tradisi pemaksaan ini telah di hapus oleh pengelola wisata Parangtritis. Konon neñek-nenek penjual kelapa muda untuk "sesajen Nyi Roro Kidul" itu, datang dari luar daerah. Bukan penduduk setempat. Kini Parangtritis sangat damai, dan jarang ada korban hanyut di seret ombak. Karena petugas pantai berjaga-jaga begitu sigapnya. Kisah Nyi Roro Kidul semakin sunyi di lokasi itu. Pemantauan kenyamanan pengunjung sangat diperhatikan pemerintah Yogyakarta.
Keunikan yang masih bertahan adalah,
setelah salat Eid. Masyarakat setempat melakukan tradisi unik. Sudah menjadi tradisi turun temurun selalu ada ritual bernuansa Islam khas setempat. Seperti tampak dalam video siaran langsung di FB berikut ini. Kaum pria dan kaum wanita membentuk dua lingkaran berbimpitan.Penduduk mayoritas muslim di lokasi ini, berbaur antara warga yang aktif di Muhammadyah dan Nahdatul Ulama. Saat ritual pasca salat Eid mereka berkumpul tanpa ada perbedaan. Prosesnya membentuk dua lingkaran berimpit seperti dalan video berikut:
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=5273709006014398&id=100013447485913&sfnsn=wiwspwa
Sajian makanan dan minuman ringan, serta penjualan barang kerajinan, mewarnai ritual keagamaan.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1252807411919280&id=100013447485913&sfnsn=wiwspwa
Inilah akulturasi budaya yang masih lestari hingga saat ini. Apa lagi keunikannya? Silahkan amati saja acara siaran langsung berikut ini. Yang dibuat pagi tadi pada tgl 2 mei 2022 tepat jam 08.30 WIB. Coba bandingkan dengan ritual belasan tahun lalu di lokasi yang sama. Di bawah ini adalah ritual unik pasca salat Iedhul fitri di Kampung Ngentak, Bantul, Yogyakarta, tahun 2010.
Siaran langsung hari ini tampak wajah-wajahnya berbeda dengan sebelumnya. Tradisi sesepuh berderet paling depan adalah orang yang sudah berusia lanjut, masih bertahan. Untuk menghargai orang yang sudah sepuh, merupakan kearifan. Pembawa acara, dulu bergantian, kini sendirian saja itupun tampak belum ada re-generasi. Walau tampak pembawa acaranya sudah lebih berumur ketimbang sebelumnya, namun masih enerjik, tampaknya belum memunculkan generasi muda sebagai calon penggantinya.
Jika kita bandingkan dengan video di bawah ini, peristiwa belasan tahun yang lampau, tampak yang duduk di kursi kesepuhan, sudah banyak yang hilang. Sesepuh lama saat ini sudah banyak yang tidak tampak lagi, diganti dengan sesepuh lainnya yang agak muda. Diduga sesepuh yang tidak hadir itu, karena sudah pada almarhum.
Suasana keseluruhan dari perbandingan dua masa berbeda ini, acaranya hampir mirip, hanya sesepuh yang duduk di kursi paling depan, remaja pendatang, dan kelompok anak yang baru berkeluarga tampak berbeda. Serta dekorasi berbeda pula, karena kini ada tenda terpasang menaungi para sesepuh, diantaranya berkursi roda. Sedangkan ditahun 2010 tanpa tenda, tanpa kursi roda dan tanpa pernak-pernik dekorasi. Tampaknya ada sedikit inovasi.
Disamping itu pada acara yang digelar 12 tahun lalu, tampak lebih tertib karena pohon yang ada masih kecil-kecil, padahal jumlah pesertanya sangat berjubel, tapi kini jumlah yang hadir disamping banyak yang bermasker dan jumlahnya juga relatif berkurang. Mingkin pengaruh covid-19 masih berpengaruh. Maklum kebanyakan dari mereka merantau di srkitar Jakarta.