Alumni Danone Digital Academy 2021. Ibu rumah tangga anak 2, penulis konten freelance, blogger, merintis usaha kecil-kecilan, hobi menulis dan membaca Bisa dihubungi untuk kerjasama di bidang kepenulisan di dwi.aprily@yahoo.co.id atau dwi.aprily@gmail.com
Kenangan Ziarah Kubur dan Rahasia Bunga Kamboja
Ziarah kubur menjelang Ramadan telah berlangsung secara turun temurun. Entah siapa yang memulai dan mengajarkan, tetapi berziarah ke makam para leluhur, orang tua, keluarga menjelang Ramadan seolah menjadi kewajiban.
Tidak afdol jika menjelang Ramadan tidak berziarah. Nyekar, istilah dalam bahasa Jawa. Saya masih ingat saat (almarhum) Papa akhirnya mampu membeli mobil bekas setelah bertahun-tahun menabung, maka tradisi nyekar ke Malang, daerah leluhur Papa karena beliau berasal dari Malang dan ke Porong, Sidoarjo sebagai daerah asal leluhur Mama.
Meski ke Malang untuk keperluan ziarah kubur tidak mampir ke tempat-tempat wisata, tetapi hati merasa gembira. Gembira menikmati hawa segar dan dingin kota Malang (saat saya masih kecil, kota Malang masih sangat sejuk, tidak sepanas dan gerah seperti sekarang) Masih teringat berduyun-duyunnya para peziarah di hari-hari terakhir bulan Sya'ban terutama saat akhir pekan. Kemudian anak-anak kecil pencari berkah segera membuntuti para peziarah, mereka dengan tangkas membersihkan rerumputan di makam keluarga peziarah dan di sekitarnya. Sebagai upah, mereka pun menerima beberapa rupiah dari peziarah.
Berziarah kubur di makam leluhur Mama tak kalah seru. Jika berziarah ke makam eyang buyut, kami selalu mampir di rumah warisan yang dulu ditempati keluarga adik eyangku. Rumah yang beraksen khas Jawa masa penjajahan Belanda. Halamannya luas, dipenuhi berbagai jenis pohon buah, dari Rambutan, Mangga hingga buah Kelapa. Ubinnya halus, dingin berbentuk kotak-kotak besar.
Duduk di teras dengan kursi kuno, menikmati angin yang berhembus bebas dan sesekali menyaksikan kereta yang melintas sungguh sangat mengasyikkan. Tapi rumah itu kini tinggal kenangan karena menjadi salah satu korban lumpur panas, meski uang ganti ruginya dibagikan merata sesuai hak ahli waris, timbul rasa kehilangan juga.
Ziarah kubur menjelang Ramadan juga menjadi tradisi orang-orang yang tinggal di tempat saya dibesarkan. Rumah kami di Probolinggo tak jauh dari pemakaman umum. Menjelang Ramadan dan hari pertama lebaran, pemakaman yang biasanya sepi tiba-tiba ramai sekali. Saya dan beberapa teman sepermainan sering menghabiskan waktu bermain di makam umum sambil menyaksikan para peziarah merapal doa. Kami tak punya tujuan khusus untuk berziarah, tetapi kami punya kesibukan tersendiri.
Saya dan teman-teman sibuk mencari dan mengumpulkan bunga kamboja yang berserakan. Pemakaman umum yang terletak dekat rumah dihiasi dengan beberapa pohon Kamboja.
Kami punya keyakinan bahwa kelopak bunga Kamboja yang berjumlah genap akan mendatangkan rezeki. Lazimnya bunga Kamboja memiliki kelopak sebanyak lima buah. Maka jika menemukan kamboja berkelopak empat atau enam buah, kami anggap sebagai pertanda akan mendatangkan rezeki nomplok.
Benar saja, tak seberapa lama usai menyimpan bunga kamboja dengan jumlah kelopak genap kami rata-rata menerima rezeki nomplok. Bukan rezeki yang luar biasa, sebab tak lama kemudian kami pasti menerima angpau berisi uang sebagai hadiah lebaran. Saat sudah menginjak usia remaja dan dewasa saya tak lagi tertarik mengumpulkan kamboja berkelopak genap sebab saya paham hal itu hanya keyakinan anak-anak kecil belaka yang tak bisa dijelaskan secara logika.