Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang (PTS); Call Center: 0856 172 7474
Menuju Zakat Fitrah yang Tepat
Sungguh suatu ketimpangan ekonomi yang sangat dalam, dan ini menunjukkan bahwa di dunia, termasuk di negeri ini sudah tak ada keadilan ekonomi. Perlu diketahui dan disadari bahwa bukan hanya manusia yang ditindas oleh kapitalisme, namun kapitalisme juga telah merusak Alam demi meraih keuntungan yang besar.
Ambisi keserakahanlah yang telah mendorong eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam (SDA). Keseimbangan alam menjadi rusak, tercabik-cabik yang berujung pada maraknya berbagai bencana alam.
Jadi, Zakat adalah pungutan untuk membersihkan harta-harta yang bukan bagian dari yang menjadi hak kita. Pola Zakat secara prinsip sebenarnya sama seperti pola pemungutan pajak pendapatan ataupun penghasilan. Penerapan Zakat dan pungutan pajak dalam masyarakat saat ini sebenarnya sebuah pola yang tumpang tindih. Karena masyarakat harus membayar double untuk Zakat dan pajak. Dengan membayar pajak, sebenarnya kita sudah membayar Zakat, bahkan besaran pajak penghasilan berkisar antara 5 hingga 35 % dari jumlah pendapatan, lebih besar daripada pungutan Zakat.
Bukan itu saja, di setiap barang pabrikan yang kita beli sudah terbebani pajak pertambahan nilai sebesar 10 %, dan masih banyak bentuk pajak-pajak lainnnya. Sementara, besaran Zakat penghasilan hanya 2,5 % dari pendapatan, Zakat harta simpanan 2,5 %, Zakat hasil petanian 10 %, Zakat hasil tambang, barang temuan, dan harta rampasan perang 20 %. Prosentase Zakat hasil pertanian yang lebih tinggi dari Zakat penghasilan seumumnya, menunjukkan bahwa petani-petani pada masa Rasulullah pendapatan dan kesejahteraannya lebih tinggi daripada pendapatan di sektor-sektor lainnya.
Rasulullah sangat memahami bahwa sektor pertanian adalah basis sektor yang harus diutamakan. Kesejahteraan petani adalah kunci dari kemandirian dan ketahanan pangan.
Tidak seperti saat ini, kondisi pertanian pangan justru terus digencet oleh pemerintah dengan dalih untuk menekan inflasi, sehingga memiskinkan bagi para petaninya. Coba dicermati, selama bertahun-tahun harga Gabah berada di kisaran Rp. 3.000 s.d. Rp. 4.000/kg. Sementara, harga Sawit sudah lebih dari Rp. 3.000/kg, harga Karet mentah berkisar Rp. 10.000/kg. Bagaimana negara akan bisa mencapai swasembada pangan jika pemerintah selalu menekan kesejahteraan para petaninya?
Dengan jumlah pungutan pajak yang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan Zakat, seharusnya negara ini sangat makmur sejahtera, namun ironisnya negara setiap tahunnya mengalami defisit, dan selalu gali lobang tutup lobang. Inilah yang menunjukkan bahwa pengelolaan negara masih jauh dari profesional. Beban, gaji dan tunjangan pegawai yang sangat besar, namun kinerja maupun produktivitasnya sangat rendah. Belum lagi kebocoran-kebocoran anggaran operasional dan proyek-proyek pemerintah yang sangat besar, dan ini sudah menjadi rahasia umum.
Sangat berbeda dengan kondisi pada masa Rasulullah, pola pemerintahannya sangat profesional, pengelolalaan keuangan sangat efektif dan efisien, tidak boleh ada pemborosan maupun kebocoran anggaran. Kepemimpinan Rasulullah serta Khulafaur Rasyidin sangat bersih, sederhana dan lebih mengutamakan kemakmuran rakyatnya.
Dalam kitabnya, Ibnu Katsir menukil pidato Umar RA sebagai berikut: "Tidak dihalalkan bagiku harta milik Allah, selain dua potong pakaian, satu untuk musim panas dan satu lagi untuk musim dingin, serta gaji yang setara untuk kehidupan sehari-hari seorang Quraisy biasa." Jadi, jabatan adalah murni amanah, tidak ada fasilitas yang mewah atau berlebih, dan gaji seorang pemimpin negara bahkan dunia, sama dengan gaji masyarakat biasa.
Kemudian, dalam hal alokasi Zakat, prioritasnya adalah untuk jaminan sosial bagi mereka yang kurang mampu, sehingga akan mengurangi angka kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat. Bila masih ada kelebihan anggaran, barulah dialokasikan untuk pengadaan sarana, prasarana dan untuk kebutuhan lainnya. Bukan sebaliknya, kita meng-invest pembangunan infrastruktur, sementara masih banyak masyarakat yang kesusahan dalam hal mencari makan. Inilah yang justru semakin memperdalam jurang kesenjangan ekonomi.
Bila Zakat dipaksakan diterapkan saat ini dalam sistem ekonomi yang sarat dengan ketidakadilan dan ketimpangan, maka orang-orang kaya saat ini seharusnya tidak membayar 2,5 % hingga 20 % dari pendapatannya per tahun, namun sebagian besar harta-hartanya harus diserahkan kepada negara. Sebab bila diusut sampai ke akar-akarnya, sumber dari kekayaan mereka pasti diperoleh dari berbagai bentuk praktik ketidakadilan. Seperti hasil dari Riba, Gaji, Tunjangan dan fasilitas yang terlalu tinggi atau mendapatkan keuntungan dari kerugian pihak lain maupun hasil dari mengeksploitasi SDA secara berlebihan.