Bukber Virtual Bisa Sih, Tapi Ribet
3. Etika. Secara etika kita makan di meja makan yang sama selain makan juga akan berbincang-bincang dengan peserta lainnya yang duduk di sebelah kiri, kanan dan depan. Nah, jika dilakukan secara virtual bagaimana mengatur siapa bicara dengan siapa? Jika dibebaskan bicara maka situasi pertemuan daring akan sangat berisik. Bisa jadi orang saking berebut bicara. Atau justru hanya akan ada keheningan.
4. Layar yang tertutup. Beberapa orang merasa kurang nyaman menyalakan kamera saat bergabung dengan sebuah pertemuan daring. Meski menyimak jalannya acara namun tak nampak wajah. Bagaimana mungkin saat makan justru membuka kamera agar bisa saling melihat dengan peserta lain?
Bukber Virtual Ribet dan Tak Nyaman
Bagi saya, sangat aneh makan sambil saling menatap di layar gadget. Terlebih jika acara ini direkam kemudian dipublikasikan. Menonton diri sendiri dan orang-orang lain makan di layar-layar benar-benar hal yang tidak saya inginkan.
Bukber Virtual sudah ribet dalam penyelenggaraannya rasa yang ditimbulkan pun tidak nyaman. Jad kalau ada yang mengajak ikutan Bukber Virtual saya tidak akan mau. Kecuali ada webinar selama ngabuburit dan mendapatkan kiriman makanan untuk berbuka sih masih oke. Tapi benar-benar buka puasa di depan kamera gadget nggaklah. Mending buka sendiri-sendiri saja.
Lagipula saya melakukan sholat Maghrib peserta pasti akan bubar. Jangan harap bisa kembali ke ruang pertemuan daring. Karena selain masih banyak ibadah yang harus dilaksanakan hingga waktu sholat Isya dan tarawih datang waktu Magrib itu sempit sekali.
Jadi, jika ada yang bertanya pada saya apakah Bukber Virtual bisa dilaksanakan? Jawabannya Bisa. Apakah saya akan ikut? Jawabannya TIDAK! Big No, pokoknya.
Tidak semua hal bisa dipindah ke ranah maya dan bisa terasa seperti di dunia nyata. Karena sejatinya bertemu orang-orang dan makan bersama di meja makan memiliki esensi yang tak bisa digantikan dengan teknologi digital. Ngabuburit virtual masih oke, tapi Bukber Virtual "Nope!"
Salam
Eka