Ketika Bersedekah di Jalanan Tegas Dilarang
Pengertian bersedekah atau bersadaqah menurut Islam adalah pemberian seorang muslim kepada orang lain secara sukarela dan ikhlas tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu.
Sedekah bisa berupa apa saja. Tidak hanya sebatas menyumbangkan harta. Sedekah mencakup segala amal. Dalam sebuah hadist bahkan disebutkan,"Senyum adalah salah satu bagian dari sedekah."
Bersedekah di bulan Ramadan tentu sangat dianjurkan. Beberapa keutamaan melakukan amal sedekah di bulan ini sungguh sangat luar biasa. Di antaranya: bersedekah itu mampu menghapus dosa-dosa. Rasulullah Saw pernah bersabda," Sesungguhnya bersedekah itu mampu menghapus dosa-dosa sebagaimana air memadamkan api." (HR.At-Tarmidzi)
Keutamaan lain yang tidak kalah dahsyatnya sehubungan dengan amalan bersedekah di bulan Ramadan adalah, Allah akan melipatgandakan pahala bagi orang-orang yang melakukan amal sedekah dan akan memberikan naungan kelak di hari akhir.
Berdasarkan janji Allah itulah maka kaum Muslim lantas berbondong-bondong untuk melaksanakan amalan bersedekah. Pada masa Rasulullah, bahkan beliau tak henti-hentinya memberi contoh serta suritauladan bagaimana seharusnya seorang Muslim memperlakukan sesamanya dengan berbagi sebagian kecil dari harta yang dimilikinya.
Ketika di era sekarang muncul perda dan larangan melakukan amal bersedekah, khususnya di jalanan saat bulan Ramadan tiba, kemungkinan hal ini dilihat lebih kepada mudharatnya daripada manfaatnya. Salah satu alasan mendasar hingga larangan tersebut diberlakukan adalah bermunculannya para gepeng dan anjal memenuhi jalanan yang bisa mengganggu ketertiban umum. Alasan lain, seperti yang pernah diungkapkan dalam fatwa MUI bahwasanya haram memberi uang kepada peminta-minta di jalanan karena pemberian itu tidak tepat pada sasaran.
Saya lantas jadi teringat perbincangan ringan dengan almarhum Abah--saya memanggilnya begitu meski beliau bukan ayah kandung saya, ketika seorang peminta-minta kebetulan singgah ke rumah saya. Peminta-minta itu masih muda dan penampilannya tidak menunjukkan bahwa ia termasuk golongan orang yang perlu dikasihani.
Seolah tahu apa yang saya pikirkan, Abah bilang begini, "Kalau kita berniat bersedekah, bersedekah saja! Jangan menghitung-hitung atau bertanya-tanya. Soal peminta-minta itu berbohong atau tidak tentang keadaannya, itu urusan dia dengan Allah."
Ucapan Abah itu sampai sekarang melekat dalam di hati saya. Sekaligus memberi pembenaran akan ucapan beliau. Bahwa kalau kita berniat memberi, ya sudah, memberi saja. Ikhlas saja. Jangan menghitung-hitung untung rugi, apalagi sampai menelisik ini itu. Sebab jatuhnya bukan lagi kepada amalan sedekah yang berpahala. Namun berpotensi menjadi amalan yang sia-sia. Sayang sekali, bukan?
Kembali kepada larangan memberi sedekah di jalanan saat Ramadan yang kerap menimbulkan pro dan kontra. Kita semestinya memakluminya. Bahwasanya setiap kota memiliki kebijakan tersendiri mengenai upaya memberlakukan ketertiban umum. Kota-kota besar seperti Jakarta yang memang rawan macet dan kecelakaan, larangan pemberian sedekah semacam ini boleh jadi tegas diterapkan. Namun di kota-kota kecil yang penduduknya tidak terlalu padat, bersedekah di jalanan bukan menjadi masalah yang perlu diperdebatkan.
Seperti yang pernah saya dengar dari tukang becak tetangga saya. Bahwa ada Pak Haji yang rutin membagi-bagikan uang kepada para peminta-minta dan tukang becak di setiap bulan Ramadan. Beliau melakukannya di sepanjang jalan umum. Para gepeng serta tukang becak selalu menunggu-nunggu kehadiran Pak Haji ini dengan wajah berseri-seri. Ketika saya menanyakan apakah aparat setempat sama sekali tidak melarang kegiatan tersebut, tetangga saya menjawab bahwa pihak aparat malah ikut berdiri menyaksikan dengan wajah gembira.