Penulis Poem, Eduparenting, Trip, dan Ghost Story. Sangat Menyukai Traveling dan Dunia Literasi Contact person : erikae940@gmail.com Follow Me : Instagram : Ririe_aiko
Rindu Mudik
Nggak kerasa ya lebaran tinggal beberapa minggu lagi, kalau lihat orang-orang udah mulai mudik rasanya envy banget, kangen bermudik ria ke kampung halaman. Lintas pulau menyebrangi lautan, bersama partner mudik yang selalu siaga, Alm Papa. Hampir 15Tahun lebih saya sudah tidak pernah mengunjungi "Kampung Halaman Papa." Karena sejak menikah dengan sesama orang Bandung, saya lebih banyak menghabiskan waktu di Bandung, terlebih kesibukan yang begitu padat di Kota ini, membuat saya tidak punya waktu dan kesempatan untuk kembali berkunjung ke "Kampung Halaman Papa" sebuah rumah keluarga yang terletak disalah satu Provinsi Sumatera, tepatnya di Sumatera Selatan. Rumah yang cukup luas untuk menampung beberapa keluarga. Rumah peninggalan Kakek dan Nenek. Rumah sederhana yang menjadi tempat berkumpul semua keluarga yang merantau.
Mungkin bagi sebagian orang mudik itu ribet dan melelahkan, tapi buat saya pribadi mudik itu adalah sesuatu yang sangat menyenangkan. Meski harus menghabiskan waktu satu hari semalam di perjalanan Bandung-Sumatera, tapi bagi saya perjalanan itu seperti sebuah petualangan. Banyak cerita dan kenangan yang membuat saya begitu rindu masa-masa itu, sederhana dan penuh kehangatan.
Mudik kala itu, saya biasanya menggunakan jalur darat. Dengan mengendarai Bus dan melintasi pulau menaiki Feri, bisa memberikan atmosfer perjalanan yang luar biasa. Selama di dalam Bus, kita akan disuguhi barisan pohon kelapa yang mendayuh tertiup angin, Laksana sebuah panorama indah yang ditayangkan langsung dari balik jendela. Sayup-sayup alunan lagu tempo dulu yang hits, seperti "Kala Surya Tenggelam-Chrisye, Mungkinkah-Stinky dan lagu-lagunya Kahitna" kerap menjadi lagu favorit yang sering diputar disepanjang perjalanan pada masa itu.
Ditengah perjalanan, biasanya bus akan berhenti di sebuah Rest Area. Kala itu Rest Area sekitaran Sumatera biasanya adalah sebuah Rumah Makan Padang dengan halaman depan yang luas. Disini para penumpang diberi waktu sekitar 1-2 jam untuk bisa membeli makanan atau pergi ke Toilet.
Biasanya saya dan papa juga ikut turun untuk membeli makanan. Papa selalu memesan dua nasi dan satu potong ayam rendang. Papa memberikan potongan ayamnya untukku, dan ia hanya mengambil kuah rendangnya untuk disiramkan pada nasi. Dulu saya tidak paham alasan papa tidak pernah memesan lauk untuk dirinya sendiri, padahal makanan di Area Resto sangat enak dan beragam. Tapi setelah dewasa, saya baru sadar, Papa tidak punya cukup anggaran untuk membeli dua potong ayam. Kondisi papa terbatas saat itu, jadi ia membiarkan sepotong ayam itu hanya untukku, agar bisa menikmati makanan enak. Ya begitulah orang tua, dia akan Rela kelaparan hanya demi anaknya bisa makan.
Kembali ke perjalanan Mudik lintas jawa menikmati indahnya Selat Sunda, birunya air laut berpadu dengan buih ombak yang bergelombang. Keindahan yang hanya bisa dinikmati dari geladak kapal feri. Angin yang cukup kencang berhembus, tak menghentikanku untuk menghirup aroma laut yang menyegarkan. Semakin jauh kapal berjalan, semakin kecil pulau Jawa terlihat. Hiruk pikuk kepadatan kota Metropolitan, semakin terasa menghilang saat Kapal mulai berlabuh di Pelabuhan Bakauheni. Sebuah awal dari kota berbeda di pulau Sumatera.
Atmosfer pun mulai terasa berbeda ketika para pedagang Pempek dan Kemplang Bakar mulai menghampiri sisi jendela bus untuk menawarkan dagangannya pada para perantau. Ya, kami sudah hampir tiba di Tempat Mudik.
"Tempat Mudik yang selalu Menjadi Tujuan Para Perantauan"