Gaya hidup dan humaniora dalam satu ruang: bahas buku, literasi, neurosains, pelatihan kognitif, parenting, plus serunya worklife sebagai pekerja media di TVRI Maluku!
Apakah Semua Akan Kembali Normal?
Tapi bagaimana bila, Kekacauan inilah yang normal.
Bukankah, pandemi telah terjadi di sepanjang sejarah manusia? Selama ratusan tahun, orang-orang merespon pandemi dengan pembatasan sosial, pembatalan berbagai event, penutupan bisnis, bahkan membatalkan pertemuan-pertemuan dan ritual keagamaan yang bersifat masif. Sekolah dan ruang publik juga pernah ditutup sebelumnya.
Bahkan Sir Isaac Newton yang terkenal dengan teori-teorinya tentang gravitasi dan optik, pernah mengalami situasi lockdown atau karantina wilayah pada tahun 1966 ketika Inggris dilanda The Great Plague. Kata "karantina" sendiri berasal dari kata Italia "quaranta" yang ditemukan pada abad ke-14 sebagai respons terhadap wabah hitam.
Demikian pula, krisis ekonomi dan politik adalah normal bagi sejarah manusia. Hal-hal ini terjadi setiap 20-30 tahun hampir seperti jarum jam di sebagian besar dunia. Bahkan dalam setiap sepuluh tahun selalu ada beberapa peristiwa besar yang mengubah dunia.
Ini menyebabkan saya berlama-lama memikirkan pertanyaan, bagaimana bila inilah cara Dia yang Maha Besar menjaga keseimbangan dalam kehidupan manusia?
Kembali ke soal kenormalan, saya rasa reaksi manusia terhadap krisis ini juga cukup normal. Pembatasan sosial secara historis di seluruh dunia telah menghasilkan berbagai protes dan reaksi politik dari mereka yang mata pencahariannya terancam.
Krisis ekonomi telah mengundang intervensi yang intens dari pemerintah, menghasilkan dampak yang luas dan kemarahan politik. Bahkan keluhan bahwa semua orang bereaksi berlebihan, tidak hanya umum, tetapi secara praktis adalah keluhan yang universal.
Ini bukan kenormalan yang "baru". Ini normal saja. Sangat normal. Seperti tanggapan kita terhadapnya. Kita benar-benar tidak orisinil dalam pengalaman kita saat ini.
Tetapi selama harapan itu hanya terbatas pada gelembung-gelembung kecil pengalaman individual dan fokus kita hanya melihat beberapa tahun ke masa lalu atau masa depan kita, maka kita akan terus-menerus merasa sangat sedih atau sangat marah karena telah dirampok dari imajinasi kita tentang apa itu 'normal'. Kenormalan yang imajiner.
---
Renungan 1 Ramadhan 1441 HÂ