Marginalisasi Perempuan di Bulan Ramadhan
Pada bulan suci Ramadhan, umat muslim di seluruh dunia merayakan waktu yang penu berkah dan kesempatan berlimpah untuk meningkatkan kuantitas serta kualitas ibadah. Namun di balik suka cita ini, ada aspek yang sering kali terabaikan: marginalisasi perempuan. Bulan Ramadhan yang seharusnya menjadi momen untuk menghiasi diri dengan berbagai amal ibadah seringkali menjad periode beban perempuan bertambah.
Apabila telah diyakini bahwa esok adalah hari pertama puaasa, biasanya para ibu sudah sibuk memikirkan menu hidangan apa yang akan disajikan untuk sahur dan berbuka. Belum lagi camilan-camilan takjil dan es yang tak boleh absen saat waktu buka puasa tiba. Al-hal semacam inilah yang membuat perempuan memiliki beban yang bertambah dan menjadika kesempatan perempuan untuk beribadah menjadi terbatas.
Tantangan semacam ini diperparah oleh konstruksi budaya yang menempatkan perempuan sebagai pemegang tanggung jawab utama dalam urusan rumah tangga. Akibatnya mereka sering merasa terbebani baik fisik dan mental selama bulan Ramadhan, ditambah lagi keterbatasan waktu dan energi untu beribadah atau sekedar merawat diri.
Bukan hanya masalah domestik, perempuan jua memiliki kererbatasan dalam berburu pahala selama bulaan ramadhan dikaenakan fitrah biologis mereka. Mesikipun memiliki tekad yang sama untuk mengumpulkan pahala sebanyak mungkin, perempuan seringkali terhalang oleh datang bulan.
Sebagai contoh, menstruasi menjadi hambatan terbesar bagi para perempuan untuk menjalankan beberapa bentuk ibadah, seperti shalat, puasa, membaca al-quran, i'tikaf, dan beberpa hal lainnya. Selama periode ini perempuan merasa dipinggirkan karena mereka tidak diperbolehkan melakukan salat, puasa, maupun tilawah.
Bagi sebagian besar perempuan, menstruasi yang hadir di sepulu hari terakhir bulan Ramadhan merupakan pengalaman yang amat menyedihkan. Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aistah r.a., Rasulullah mengencangkan ikat pinggangnya saat memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Ini menunjukkan peningkatan antusias dan intensitas ibadah Rasulullah saw. pada detik-detik terakhir perpisahan dengan Ramadhan.
Lalu bagaimana deng para perempuan yang sedang menstruasi? Meskipun diketahui bersama bahwa masih ada banyak bentuk ibadah yang bisa dilakukan perempuan saat datang bulan, tetap saja larangan untuk i'tikaf, membaca al-Quran, salat, dan puasa akan membuat mereka merasa cemburu kepada umat muslim lainnya yang khusyuk memburu pahala di sepulu hari terakhir bulan Raamadhaan dengan ibadah-ibadah yang tidak boleh dikerjaakan olehnya.
Untuk meminimalisir terjadinya marginalisasi perempuan di Bulan ramadhaan, langkah-langkah konkret sangatlah perlu untuk diambil. Salah satunya yaitu meningkatkan awareness akan peran perempuan dalam rumah tangga dan masyarakat. Pembagian tugas domestik yang sebenarnya bukan tangggung jawab muthlak perempuan haruslah dibagi secara adil supaya perempuan mendapatkan haknya untuk memiliki waktu lebih untuk beribadah maupun merawat diri. Diperlukan pula dukungan dan aapresiasi yang layak atas kontribusi perempuan dalam membangun kelancaran dan kebahagiaan bulan Raadhan.
Selain itu diperlukan pula program khusus perempuan yang menstruasi. Masjid maupun komunitas keagamaan dapat mengatur program dan kegiatan bagi perempuan yang menstruasi khususnya di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sebagaimana pengadaan program-program berburu lailatul qadar bagi para laki-laki dan perempuan yang sedang tidak menstruasi.
Program khusus juga bisa dalam bentuk diskusi maupun konseling yang dipandu oleh orang yang profesional.Ini memungkinkan para perempuan yang menstruasi untuk sharing pengalaman mereka, mendapat dukungan emosional, dan memperoleh nasihat untuk memecahkan permasalahan yang mereka miliki.