iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman
Ramadhan 2023: Konsisten Resiliensi. Sikapi Krisis dengan Kesejukan Hati
Ramadhan tahun ini memang cukup berbeda. Kali ini memang perlu dipandang pada perspektif yang berbeda. Ramadhan pertama di masa Normal Baru, masa dimana kita benar-benar kembali setelah terbatasi atas jarak dan waktu akibat pandemi. Meski masih transisi sejatinya kita belum selesai. Perjuangan kita meraih fitri bukan sebatas pada mencapai Maslahat di hari yang fitri. Namun, perlu digarisbawahi bahwa perkara Kemaslahatan sejatinya merupakan rutinitas yang memang menjadi tuntutan di hidup dunia saat ini.
Perkara hati memang sangat berat untuk dikendalikan. Hal ini menjadi sebuah ujian dan juga sebagai lompatan bagi siapa saja yang mungkin bisa memandang bahwa sebuah pengorbanan hendaknya disikapi bukan karena ada sebuah ganjalan melainkan ada maksud tertentu yang dimaknai dan menjadikan kita kuat. Dari hal yang kecil, dari kehidupan sehari-hari di masa New Normal sekarang ini sedikitnya tumbuh sebuah kesadaran di masing-masing kita untuk lebih peka kepada kesehatan dan kenyamanan yang ada dengan segala protokol dan aturan yang ada.
Memang berat itu tadi karena bertentangan dengan segala kenikmatan yang berlaku atas dasar kebebasan dari kita meraih sebuah dunia, hanya saja kalau memang ingin selamat apapun caranya musti kita jalani. Begitu juga di masa yang baru saat ini, kita diajak untuk lebih pandai dan cermat melihat peluang dan risiko dari sebuah jalan. Krisis atau situasi yang berkenaan dengan masalah sudah mencapai titik yang serius dan multidimensional. Perlu ketangguhan dan intensivitas dari manusia untuk semakin mengasah kepekaan kita dalam menyikapi ramainya segala masalah atau cobaan yang terjadi sekarang ini.
Dalam konteks bulan suci, tentu kita selalu mengingat keseimbangan. Keseimbangan secara lahir maupun batin, baik surga maupun dunia, baik materi maupun moril. Kita sudah diberikan segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia dan materi. Kita cenderung dilupakan pada tujuan yang semata hanya menjadikan kita semakin lupa bahwa kita dicipta untuk saling melengkapi dan menghargai. Situasi krisis yang juga mengarah pada sifat-sifat keteladanan dan kepemimpinan perlu dicermati sebagai sesuatu yang relatif rumit dan janga sampai membuat terlena manusia dimana sewaktu-waktu segala kenikmatan bisa berubah begitu saja.
Secara akal rasional kita berpikir semua sudah mengacu pada rasionalitas sebuah langkah yang dihadapi dan meniadi sebuah takdir kegagalan dan kemunduran bisa terjadi. Hanya saja setiap orang punya kesempatan, makanya ada Resiliensi, ada pemulihan dan ada upaya untuk memperbaiki. Seperti dalam konteks Surga bahwa sejatinya Yang Maha Kuasa Maha Mengampuni, sejatinya pula hidup ini masih berkutat pada kesempatan. Kita tidak semata jatuh, tinggal bagaimana kita memanfaatkan agar kita tidak jatuh lagi.
Kita harus yakin bahwa kerja kita di dunia sekecil apapun berarti adanya minimal untuk menguasai diri sendiri agar diperhitungkan sebagai manusia. Tentunya apabila berhasil, kembali lagi untuk kita merendahkan hati bukan diri. Mengingat rendah diri itu adalah menyerah sepenuhnya jika rendah hati kita berserah pada Ilahi dan kita laksanakan saja dengan penuh tekad dan harapan makanya namanya adalah mawas diri, tidak menggebu melainkan terus berpacu. Itulah kodrat kita sesungguhnya, terus belajar dan memperbaiki bukan lantas menyerah melainkan berserah. Sebab segala sesuatunya adalah takdir namun menjadi harapan oleh siapapun yang yakin padaNya.