Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/
Kisah Selembar Sarung di Sudut Mushola Kecil
Kumel, kucel dan dekil, itulah kondisiku saat ini. Aku tinggal di sebuah rak mushola di sebuah pom bensin di pinggiran ibu kota.
Saat ini, biasanya ada banyak orang hilir mudik ke pom bensin mushola. Hampir setiap tahun. Tapi, entah kenapa tahun ini terasa sepi sekali.
Biasanya aku banyak digunakan oleh berbagai orang dari berbagai kalangan. Mulai dari orang yang bertato hingga anak-anak muda yang gemar menggunakan celana sontog.
Hidupku sudah cukup lama mengisi rak di tingkat kedua sebuah sudut mushola. Kain penutup yang biasanya digunakan untuk beribadah. Orang menyebutnya sebuah sarung. Iya, aku adalah sarung yang kerap digunakan orang untuk beribadah.
Aku sudah lupa kapan tepatnya aku bisa berada di mushola kecil ini. Hidup bersama beberapa sahabat yang juga merupakan sumbangan dari orang-orang yang tak kukenal. Kami hidup rukun selama ini. Bahkan, dalam kondisi tertentu, kadang-kadang kami suka kekurangan. Saking banyaknya orang yang bergantian ingin menunaikan ibadahnya.
Suasana itu aku rasakan terakhir pada tahun lalu. Tepatnya 10 hari sebelum dan setelah lebaran. Meski aku tinggal di sebuah mushola kecil, pom bensin ini termasuk yang cukup ramai. Karena berada di perbatasan antar provinsi saat memasuki Jawa Timur.
Tapi, itu cerita masa lalu. Kini hanya orang-orang sekitar dan karyawan pom bensin saja yang masih tetap rajin berada di mushola pada waktunya.
Aku tidak paham apa yang terjadi di luar sana. Sempat suatu siang, di kala aku sedang ngantuk-ngantuknya, tiba-tiba mendengar obrolan dua musafir yang mampir.
Aku dengar yang satu dari sebuah kota di Jawa Barat, sementara yang satunya lagi berasal dari Lampung. Mereka sengaja menunggu di mushola karena takut razia.
Katanya sih sekarang tak mudah memasuki perbatasan Jawa Timur. Karena kabarnya sedang ada pandemi virus yang membuat orang harus tetap berada di rumah.
Tapi, sepertinya obrolan dua orang musafir tersebut menarik. Mereka rela memasuki kampung ke kampung demi lolos dari razia. Alasannya adalah rindu, rindu kampung halaman mereka di Jawa Timur.