Tiga Tingkatan Orang Berpuasa
Pada bulan suci Ramadhan, umat islam diseluruh dunia melaksanakan ibadah puasa fardhu (wajib). Secara epistimologi, puasa berarti 'shaum' atau 'shiyam' yang memiliki arti menahan diri dari sesuatu. Sedangkan puasa menurut syariat islam yaitu menahan diri dari makan, minum, dan segala hal yang membatalkan puasa yang dimulai dari terbitnya fajar (subuh) hingga terbenamnya matahari (maghrib) dengan niat ikhlas karena Allah SWT. Menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitabnya Ihya' Ulumuddin, puasa dibagi menjadi tiga tingkatan. Imam al-Ghazali adalah seorang filsuf dan teolog muslim Persia, dengan nama asli Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Beberapa sejarawan menganggapnya sebagai seorang Mujaddid, yaitu seorang pembaru iman yang muncul sekali setiap abad untuk memulihkan iman umat islam. Beliau juga seorang akademisi serta ahli tasawuf yang telah melahirkan karya-karya fenomenal. Salah satunya karya beliau yang terkenal yaitu berjudul Ihya' Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu Pengetahuan Agama) yang membahas tentang kaidah dan prinsip dalam menyucikan jiwa, perihal penyakithati, pengobatannya, dan mendidik hati.
Tiga tingkatan yang dijelaskan dalam kitab Ihya' ulumuddin yaitu, puasa umum atau awam, puasa khusus, dan puasa khusus dari yang khusus. Tingkatan yang pertama, adalah puasa awam atau umum yang bisa dilakukan oleh orang yang baru mulai berpuasa. Pada tingkatan ini, puasa dilakukan untuk menahan diri dari memasukkan sesuatu dalam perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwatnya. Puasa umum hanya menekankan pada aspek menahan diri dari hal yang membatalkan puasa secara jasmani, tidak memperhatikan aspek lainnya seperti batin dan pikiran. Orang yang berada pada tingkat ini berpotensi melakukan dosa, karena hanya berpuasa secara jasmani, tapi tidak dapat menahan pandangannya , lisannya, pendengarannya, dan bagian indra lainnya dalam hal-hal makruh. Seperti halnya berpuasa tapi menonton tayangan yang tidak penting sbagai kegiatan untuk mengisi waktu luangnya.
Di tingkatan kedua ada puasa khusus,yaitu menahan diri dari pendengaran, pandangan, lidah, tangan dan kaki dari semua hal yang menimbulkan dosa serta maksiat. Pada tingkatan ini, orang yang berpuasa tidak hanya menahan diri untuk memenuhi kebutuhan syahwat, tapi juga menahan seluruh anggota tubuh dari perbuatan yang dilarang Allah dan hal yang tidak penting, tidak perlu, makruh, dan menjerumuskan pada dosa.
Dan tingkatan yang ketiga sekaligus yang terakhir yaitu, puasa khusus dari yang khusus adalah puasa yang menahan hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan yang ada dipikiran serta hati nya hanya Allah SWT. Atau biasa disebut puasa hati dari segala hal yang hina dan segala pikiran yang bersifat duniawi serta mencegahnya daripada selain Allah. Orang yang berada pada tingkat ini biasanya para nabi, para Aulia Allah. Shiddiqin, dan orang-orang yang didekatkan pada Allah. Di tingkatan puasa ini, enunjukkan adanya proses orang-orang beriman untuk menjadi lebih baik dalam menjalankan ibadah puasa yang begitu istimewa.
Tiga tingkatan ini disusun oleh Imam Ghazali berdasarkan sifat orang yang mengerjakan puasa. Ada orang berpuasa yang hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi masih tetap melakukan perbuatan maksiat inilah puasanya orang awam yang berada di tingkat pertama. Pada umumnya, mereka mendefinisikan puasa sebatas menahan diri dari hal-hal dzahir (terlihat). Hal ini berbeda dengan tingkatan kedua yaitu puasanya orang sholeh. Mereka lebih maju dibandingkan puasanya orang awam, sebab mereka paham bahwa puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari melakukan perbuatan dosa dan mereka berfikir bahwa percuma puasa bila masih melakukan maksiat. Karenanya, mereka menganggap bahwa maksiat menjadi pembatal puasa. Selanjutnya, puasa paling khusus yang dikerjakan oleh orang-orang tertentu. Hanya sedikit orang yang sampai pada tahap ini, pasalnya selain menahan lapar, dahaga, maksiat, mereka juga memfokuskan pikiran untuk senantiasa hanya mengingat Allah SWT. Bahkan, pikiran selain Allah SWT dan pikiran terhadap dunia dianggap merusak dan membatalkan puasa. Dari tingkatan ini, kita mengetahui bahwa ibadah puasa merupakan kesempatan untuk melatih diri kita supaya lebih baik dari sebelumnya. Semoga puasa kita tidak hanya bersifat formalitas tetapi juga bermanfaat dan berdampak positif.