Abdul Hamid Al mansury
Abdul Hamid Al mansury Ilmuwan

Santri Darul Ulum Banyuanyar Alumni IAI Tazkia Wasekum HAL BPL PB HMI 2018-2020 Ketua Bidang PA HMI Cabang Bogor 2017-2018

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN

Simbol dan Sejarah Lailatul Qadar

9 Mei 2021   15:22 Diperbarui: 9 Mei 2021   15:26 1860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam lailatul qadar adalah momen yang ditunggu oleh umat Islam terutama saat memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Secara harfiah, lailatul qadar berarti "malam kemuliaan". Di malam itulah, Allah SWT menurunkan al-Qur'an. Saking mulianya malam tersebut, Allah SWT mendefinisikan lailatul qadar bahwa ia lebih baik daripada seribu bulan tanpa kejelasan kapan terjadinya.

Karena itulah, banyak ragam cara umat Islam dalam menyambut malam yang mulia tersebut, misalnya, melakukan i'tikaf (berdiam diri di masjid) sepanjang malam, sholat tahajud, membaca al-Qur'an dan ibadah-ibadah lainnya. Namun, apakah semua umat Islam mendapatkan apa yang ditunggunya? Rasanya, tidak mungkin semua umat Islam mendapatkan lailatul qadar. Hanya segelintir orang yang bisa mendapatkannya.

Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW bersabda kepada para sahabatnya yang sedang berkumpul menunggu malam lailatul qadar di masjid Madinah bahwa lailatul qadar insya Allah akan datang malam itu juga, karena Nabi telah melihatnya dalam ru'yah bahwa akan ada hujan deras kemudian Nabi belepotan lumpur dan basah kuyup oleh air. Para sahabat pun membubarkan diri karena masjid Madinah pada saat itu sangat sederhana yang atapnya terbuat dari daun kurma sehingga bila terjadi hujan deras, maka dengan sendirinya air pun masuk ke lantai masjid yang terbuat dari tanah.

Pada malam itu terjadi hujan deras. Sebagian sahabat melihat apa yang disabdakannya. Nabi sholat dalam keadaan basah kuyup, sementara muka dan badannya berlumur lumpur. Lalu apa yang dimaksud dengan lailatul qadar? Tak lain, Nabi hanya menjelaskannya dengan metafora.

Karena lailatul qadar adalah persoalan ruhani, maka tidak ada kosakata yang cukup untuk menjelaskannya sehingga digunakanlah simbol-simbol. Kemudian, disinilah digunakan tafsir atau takwil. Keadaan Nabi yang basah kuyup oleh air serta belepotannya muka dan badan Nabi dengan lumpur adalah peringatan bagi kita semua bahwa jenjang tertinggi dari pengalaman ruhani ialah kalau kita sudah kembali ke asal. Atau setidaknya, kita sadar dari mana kita berasal.

Kita berasal dari dua unsur. Pertama kita berasal dari tanah dan air, sedangkan unsur yang kedua kita berasal dari ruh Allah SWT yang ditiupkan oleh-Nya kepada kita sehingga kita hidup. Kemudian, semuanya itu akan kembali ke asalnya masing-masing tanpa kita mengetahui kapan, dimana dan dengan cara seperti apa kita akan kembali.

Sholat yang didirikan oleh Nabi pada saat itu merupakan perlambang atau simbol kesadaran akan asal kita yaitu ruh Allah SWT yang akan kembali kepada-Nya. Sedangkan, air dan lumpur yang menempel pada saat Nabi mendirikan sholat yaitu kesadaran akan asal jasad kita yaitu tanah dan air yang akan kembali kepadanya pula. Kesadaran itulah yang harus ditanamkan dalam diri kita masing-masing.

*****

Kita tahu bahwa al-Qur'an pertama kali diturunkan pada bulan Ramadhan baik secara keseluruhan maupun secara berangsur-angsur. Terutama bahwa al-Qur'an diturunkan pada malam lailatul qadar sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam surat ke-97, al-Qadr (kemuliaan). Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama kalinya adalah ketika beliau baru berusia 40 tahun dimana dalam usia itu beliau suka mengasingkan diri di goa Hira' yang terletak di jabal (gunung) nur.

Di goa itulah Nabi mulai memikirkan kondisi masyarakatnya yang berada dalam kejahiliyahan (kebodohan) dan kesesatan yang nyata. Sehingga, beliau merindukan cahaya petunjuk dari Tuhan untuk membebaskan manusia dari kesesatan dan kegegelapan jahiliyah. Kemudian hal itu dijawab oleh Allah SWT dengan menurunkan wahyu-Nya yang pertama melalui malaikat Jibril yaitu surat al-Alaq ayat 1-5.

Dalam wahyu tersebut Allah SWT memerintahkan untuk membaca dengan menyebut nama Tuhan (Rab) yang menciptakan. Membaca disini bermakna luas tidak hanya membaca yang konkret tapi juga yang abstrak, tidak hanya qauliyah (kata-kata) tapi juga kauniyah (alam), tidak hanya individu atau pribadi tapi juga sosial atau masyarakat dan seterusnya dengan tidak melupakan nama Tuhan yang menciptakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun