Bismilah, Menulis tentang : - Korupsi dan Bunga Rampai (2022) - Korupsi (2023) - Hukum dan Korupsi (22 Oktober 2024 sd. sekarang) - Sebelum aktif di Kompasiana (2022), menulis di Jawa Pos, Suara Merdeka, Tribun dan Beberapa Media Internal Kepolisian. (Masuk Dalam Peringkat #50 Besar dari 4.718.154 Kompasianer Tahun 2023)
Simfoni Indah Bersama Tetangga
Rangkaian berakhirnya Ramadan dan masuk ke Idul Fitri, menyirat dan menyuratkan rasa syukur yang mendalam. Oleh karenanya, setelah hampir 2 minggu saya tidak "menyentuh" kompasiana, pagi ini, tangan kembali di atas tuts laptop. Ingin rasanya menuang dan membagi penggalan kisah yang sangat mengesankan. Namun sebelumnya, berkenan saya mengucapkan Mohon Maaf Lahir dan Batin, kepada semua teman, kolega dan sahabat serta keluarga besar Kompasiana.
Menjadi sebuah momen yang sangat dirindukan, ketika tabuh bedug takbir menggema dan suara takbir dari musola di lingkungan tempat tinggal saya. Pagi itu, sepuluh hari yang lalu, di depan rumah, hanya berbatas jalan komplek, dilaksanakan solat ied. Ratusan warga sekitar musola Al Gozi, Perumahan Pisma Griya, Batang, Jawa Tengah berkumpul dan bersama melaksanakan solat ied. Biasa, seperti solat di tempat lain, tak ada yang berbeda.
Bisa jadi, yang membedakan dan sebagian masih melaksanakan adalah dilaksanakannya "selamaten-riyoyo", sebuah tradisi berkumpul, untuk berdoa bersama setelah solat ied dilanjutkan dengan bersalam-salaman, manifestasi dari silaturahmi tetangga. Namun, sebelumnya, makan dan minum bersama. Makanan seperti opor ayam, ayam goreng, sayur lodeh, kupat, lontong atau nasi dibawa oleh masing-masing keluarga.
Makanan dan minuman yang terkumpul, sebelum dinikmati bersama, diselipkan doa yang dipimpin oleh tetua warga. Dalam doa terselip permohonan bersama agar Alloh selalu memberkahi semua. Sebuah jalinan kebiasaan yang hanya dilaksanakan setahun sekali. Ini sangat menyentuh kalbu.
Betapa nikmat kami menikmati makanan yang tersaji, hasil olahan para ibu dan remaja putri. Kami semua tertawa gembira, penuh bersyukur, berkumpul dalam suasana akrab dan menyenangkan. Kami memang bertetangga, namun karena kesibukan masing-masing, nyaris canda tawa, kumpul bersama dan makan minum seperti itu, menjadi sesuatu yang langka.
Sebuah pertanyaan muncul, bila tradisi seperti itu tidak dilestarikan, apakah masih ada waktu dan kesempatan untuk berkumpul dengan para tetangga, saling tawa bersama sambil menikmati lezatnya makan dan segarnya minum pascasolatiedul fitri?
Kesibukan masing-masing, seolah membuat jarak di antara warga. Ada yang sibuk dengan mengolah sawah, bekerja di kantor atau bahkan bekerja di luar kota seperti saya? Tak ada waktu untuk berkumpul-kumpul dengan para tetangga, adalah sebuah "kecelakaan sosial". Saya menggunakan bahasa ini dengan alasan sebagai berikut :
Pertama, tetangga atau warga sekitar kita merupakan saudara terdekat kita. Mereka-lah yang pertama kali ikut merasakan apa yang kita rasakan, saat kita sakit, mereka yang pertama datang penuh empati.