Setia Sampai Surga
Ketika saya menulis ini saya sedang otw Lamongan. Kabupaten yang baru saja merayakan 450 tahun usianya. Lamongan menjadi destinasi mudik saya sejak tahun 2001. Ternyata jodoh saya-- yang dituliskan Allah di lauh mahfuz berasal dari desa. Sekitar 50 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Lamongan.
Kalau dihitung-hitung sudah 18 kali saya mudik Hari Raya. Di luar itu tentu lebih dari 18 kali. Bisa jadi karena sebab menyenangkan seperti ada undangan pernikahan, khitanan, ziarah haji, dan pindah rumah. Atau karena hal-hal yang mewajibkan empati seperti menjenguk saudara sakit, takziah, dan sebagainya.
Jarak Surabaya-Lamongan tidak terlalu jauh. Moda transportasi yang bisa digunakan pun cukup beragam. Saya pernah mengalami mudik bersepeda motor, naik bis, dan mobil pribadi. Hanya Kereta Api yang belum pernah saya coba.
Kalau ditanya suka duka mudik, sepertinya lebih banyak suka dibanding duka.
Pertama, senang karena bertemu dengan orang tua. Mereka pasangan romantis. S3--setia sampai surga. Saya senang menyaksikan romantisme mereka di usia senja. Dalam hati saya berdoa semoga saya dan suami bisa mewarisi romantisme yang sama. Foto di atas salah satunya. Membuat ketupat berdua.
Ibu mertua-saya memanggilnya Make--orangnya penyabar. Bapak mertua--saya memanggilnya Pake-- orangnya lucu. Anak-anak saya memanggilnya Pak Embah. Beliau lucu sekali. Sering memberi teka-teki tidak saja pada cucu-cucunya tapi juga kepada menantunya. Termasuk saya. Selain itu, senang mengecek mengajinya anak-anak. Hafalan anak-anak pun tidak luput dari pertanyaannya.
Kedua, senang bertemu dengan keluarga besar. Silaturrahim yang langka. Apalagi jika semua saudara berkumpul. Suami sebelas bersaudara. Laki-laki semua. Yang menetap di desa hanya dua saudara. Sisanya merantau. Momen hari raya saat-saat mengenalkan anak-anak pada kerabatnya.
Ketiga, anak-anak bisa bermain sepuasnya. Desa adalah sekolah alam. Suami biasa mengajak anak-anak ke sawah, ladang, tambak. Memancing di tambak adalah favorit mereka. Bungsu saya melompat-lompat kegirangan saat kailnya menangkap ikan.
Ketika sedang panen cabe, anak-anak pun dilibatkan. Begitu juga saat pohon mangga mulai masak. Mereka memetik buah tersebut langsung dari pohonnya.