Mari Samuderakan Maaf
Setelah sebulan lamanya digodok di kawah candradimuka Ramadan akhirnya sampailah kita pada Idul Fitri.
Taqoballahu minna waminkum ...
Semoga Allah menerima amal ibadah kita semua. Semoga Allah SWT mempertemukan kita dengan Ramadan di tahun-tahun berikutnya. Aamiin.
Bicara tentang Idul Fitri, banyak orang mengartikan Idul Fitri ini sebagai hari kemenangan. Kemenangan atas segala upaya mengalahkan hawa nafsu. Bukan hawa nafsu setan melainkan hawa nafsu diri sendiri.
Mengapa demikian? Karena di bulan Ramadan, setan dibelenggu. Jika kita melakukan perbuatan buruk berarti bukan perbuatan setan. Melainkan perbuatan kita sendiri. Itu yang saya dapat dari ceramah seorang ustadzah beberapa waktu silam.
Jadi, ketika kita sukses mengalahkan diri pribadi itulah yang disebut kemenangan sesungguhnya.
Salah satu bentuk kemenangan adalah memaafkan kesalahan orang lain. Meskipun maaf memaafkan sebenarnya bukan urusan lebaran. Tapi tidak ada salahnya kita meminta maaf atas segala khilaf. Sebab terkadang kita tak pernah tahu pada moment apa dan pada siapa kita torehkan luka.
Ternyata yang demikian itu tidak semuanya bisa. Butuh waktu. Butuh kelapangan dada. Butuh kedewasaan. Butuh keimanan.
Kalau kita mengimani bahwa meminta maaf lebih baik dari memberi maaf tentu jauh lebih mudah melaksanakannya. Namun, ketika egoisme masih merasuki diri jangan harap mudah melakukannya. Terkadang kita tak kuasa mengalami konflik dengan teman, tetangga, atau bahkan keluarga.
Seorang teman mengalami hal ini dengan keluarga besarnya. Karena suatu hal, di hari biasa ia tidak bertegur sapa dengan salah satu mereka. Ketika Idul Fitri datang, entahlah siapa yang memulai. Yang pasti, masing-masing pihak menyadari kesalahannya. Akhirnya, mereka bertangisan. Saling memaafkan.