Sarung
Di bawah kibaran sarung anak-anak berangkat tidur
ke haribaan malam.
Tidur mereka seperti tidur yang baka.
Tidur yang dijaga dan disambangi seorang lelaki kurus
dengan punggung melengkung, mata yang dalam dan cekung.
"Hidup orang miskin!" pekiknya sambil membentangkan sarung. (Penggalan puisi Di Bawah Kibaran Sarung -- Joko Pinurbo)
Belakangan ini "kebaikan" sarung ternodai oleh sekelompok remaja yang memodifikasi kain sarung menjadi alat tawuran atau dipakai sebagai pembungkus senjata tajam demi mengelabuhi petugas.
Menurut Widi Wahyuning Tyas (2021), awalnya, di Indonesia, sarung diterima dan dipakai umat muslim di pesisir pantai. Dalam perkembangan berikutnya sarung identik dengan kebudayaan Islam, dikenakan para santri.
Meskipun begitu, sarung bisa dikenakan oleh siapa saja, baik pria maupun wanita. Di wilayah Sumatera, wanita biasanya mengenakan sarung dengan motif flora/tumbuh-tumbuhan. Sedangkan kaum pria mengenakan sarung motif kotak-kotak atau garis-garis.
Dilansir dari laman Kemendikbud, sarung muncul di Indonesia sejak abad ke-14, dibawa oleh para pedagang Arab dan India. Berdasarkan catatan sejarah, sarung berasal dari Yaman yang terkenal dengan sebutan futah.
Harkat dan Martabat Sarung
Sarung sebagai identitas budaya dan keagamaan, selayaknya tidak digunakan untuk perbuatan tercela, melainkan ditempatkan sebagai sesuatu yang berharga sehingga patut dijunjung tinggi.
Jangan sampai sarung kehilangan harga diri seperti pada zaman kolonial karena sarung dianggap sebagai simbol orang primitif, terbelakang oleh orang-orang Belanda. Pemerintah Belanda lalu mewajibkan penduduk mengenakan baju dan celana panjang.
Serendah-rendahnya penghargaan terhadap sarung, biarlah ia digunakan sebagai pakaian santai di rumah dipadukan dengan kaos oblong, teman ronda untuk mengusir dingin malam, di pakai dalam sepak bola demi merayakan kemerdekaan RI, dimanfaatkan ibu-ibu mengayun atau menggendong/menidurkan bayi.
Pada tahun 1970-an, masyarakat Kuala Tungkal, Jambi, sudah menempatkan sarung sesuai dengan harkat dan fungsinya. Dapat dipastikan, mereka memakai kain sarung dilengkapi peci (songkok) jika masuk ke masjid atau surau.
Saat itu tidak ada yang berani masuk ke masjid mengenakan celana panjang. Dalam semaan tadarusan, belajar membaca turutan di rumah guru ngaji, anak-anak juga wajib mengenakan sarung. Mengenakan sarung untuk kegiatan ibadah sudah menjadi tradisi di daerah pasang surut itu.