Syawalan Rica-rica, Rumah, dan Kenthongan
ada ketepel dan tiga kelereng peluru
yang membutakan burung derkuku
juga sarung berdebu yang kulempar
saat mangkir ke surau
milih berburu jangkrik
atau sembunyi di bilik
di pohon jambu masih tersimpan jejak kaki
agar terbebas dari tatapan pak kyai
Agaknya, rumah (omah) memiliki arti tersendiri dalam kehidupannya. Hal ini setidaknya terbukti dari kegigihannya mempertahankan rumah tabon yang terlihat jadul di antara rumah-rumah lainnya di Pakunden.
Krishna Mihardja,saat sampai di rumah Dedet, tak dapat menyembunyikan kekagumannya.
"Dari dulu saya membayangkan bahwa yang namanya rumah ya seperti ini. Njawani. Ada jejak regol, pendapa, senthong, dan longkangan," ujar Krishna.
Ucapan Krishna itu bukan tanpa alasan. Pada tahun 2021 ia menulis dan menerbitkan novel Jawa berjudul Omah dengan ketebalan seribu halaman lebih-sepengetahuan saya, ini merupakan rekor ketebalan novel Jawa. Jadi ia tahu persis mengenai rumah Jawa yang sesungguhnya.
Dedet Setiadi kemudian menjelaskan jika rumah yang ditempatinya merupakan rumah tabon (peninggalan orang tua). Dulunya sekaligus difungsikan sebagai kantor kelurahan. Maklum ayahnya adalah seorang lurah di Pakunden pada tahun 1940-an.
Jadi di halaman depan aslinya ada pendapa berupa joglo terbuka, digunakan jika ada rapat, pertemuan, dan latihan kesenian. Tetapi karena joglo termakan usia dan ayahnya tidak lagi menjabat sebagai lurah, maka akhirnya joglo tidak mampu dipertahankan.
"Semula niat saya memakai dalem (bagian rumah jawa setelah pringgitan) dan senthong untuk tempat tinggal. Tapi kok batin tidak kuat. Ada perasaan kurang nyaman yang terus menghantui. Akhirnya saya memutuskan membangun rumah di bagian belakang (pawon) dan dalem ini hanya digunakan untuk menerima tamu seperti sekarang ini," jelas Dedet.
Saat membongkar beberapa bagian tembok dalem, Dedet menemukan keris, tombak, dan benda lainnya. Mungkin ini cara orang tua dulu menyimpan pusaka, memasukannya ke dalam tembok rumah, biar aman dan tak terjamah, kenang Dedet.