Mahéng
Mahéng Penulis

Hidup adalah perpaduan cinta, tawa, dan luka. Menulis menjadi cara terbaik untuk merangkai ketiganya.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Menaklukkan Rasa Takut untuk Membangun Toleransi: Refleksi dari Cangkrukan Spesial Ramadan

27 Maret 2024   20:31 Diperbarui: 27 Maret 2024   20:45 1546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menaklukkan Rasa Takut untuk Membangun Toleransi: Refleksi dari Cangkrukan Spesial Ramadan
Komunitas Lintas Iman berkumpul di GKI Ngupasan. Foto: Dok Gusdurian Jogja.

BASKARA TAK LAGI menyala, mewarnai langit dengan semburat jingga yang adiwarna. Sesekali, gema lonceng Gereja Kristen Indonesia Ngupasan berbunyi nyaring, memecah keheningan sore dan menandakan pergantian waktu. 

Sembari menunggu umat Muslim berbuka, di dalam ruang pertemuan GKI di Jl. Bhayangkara No.25, Ngampilan, berbagai komunitas dari berbagai latar belakang duduk bersama, bertukar cerita dan pengalaman dengan penuh energi.

Slamet Basuki dari Penghayat Kepercayaan Sapta Darma, misalnya, ia menceritakan pengalaman pahit komunitasnya dalam menghadapi intoleransi.

Salah satu contohnya adalah ketika salah satu istri dari anggota komunitasnya meninggal dunia, jenazahnya ditolak untuk dimakamkan di pemakaman umum, meskipun jaraknya hanya 150 meter dari rumah mereka.

"Padahal setiap ada urunan atau sumbangan, mereka tidak pernah lepas (tidak pernah tidak ikut)," ungkap Slamet dengan tangan bergetar. "Setega itu."

Tubuh Slamet bergetar hebat saat ia menceritakan kisah pilu tentang salah satu sanggar komunitasnya yang dibakar oleh kelompok intoleran. Suaranya tercekat dan air matanya berkaca-kaca, berusaha menahan rasa sedih, kecewa, tidak percaya, dan marah berkumpul, berkecamuk di dalam hatinya.

Benedicta Ike Wilawaty, utusan Gereja Katolik St. Mikael Pangkalan, menyoroti akar dari intoleransi: keimanan yang tipis dan pemahaman agama yang rendah. 

Menurutnya, individu yang memiliki pengetahuan dan pemahaman agama yang kuat akan menjadi militan dalam keimanannya, namun tetap toleran terhadap perbedaan.

 "Kalau pengetahuan dan pemahaman agamamu kuat, maka sangat penting untuk militan ke dalam tapi toleran ke luar," tegas Ike.

Ia mencontohkan ajaran Kristen dan Katolik yang menekankan kasih kepada sesama sebagai wujud kasih kepada Tuhan. "Mengasihi ke luar adalah wujud bagaimana kita mengasihi ke dalam dan mengasihi Tuhan," terangnya.

Perbauran antarumat beragama dan kepercayaan, seperti yang dilakukan Komunitas Gusdurian Jogja dalam Cangkrukan Spesial Ramadan, sangatlah penting untuk ditiru dan diamplifikasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun