Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...
Puasa dan Pilihan Kesabaran, Menahan Emosi dengan Tidur
Puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga. Ia juga ujian bagi kesabaran. Namun, bagi sebagian orang, rasa lapar justru memicu emosi yang sulit dikendalikan. Saat perut kosong, amarah mudah tersulut. Dalam kondisi ini, tidur menjadi pilihan untuk meredam gejolak emosi.
Dalam tausiyahnya menjelang pengumuman awal Ramadan, Tuan Guru di desa kami menyampaikan bahwa tidur lebih baik daripada membiarkan emosi meluap dan merusak pahala puasa. Menurutnya, ini adalah salah satu cara agar tetap menjalankan ibadah tanpa melanggar aturan syariat.
Pendapat ini selaras dengan hadis Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan bahwa tidur orang yang berpuasa adalah ibadah (HR. Al-Baihaqi).
Hadis ini sering dikutip dalam berbagai kajian keislaman. Meskipun sebagian ulama menilai hadis ini dhaif, maknanya tetap relevan bagi yang kesulitan menahan emosi.
Dalam kajian psikologi, lapar memang berpengaruh pada emosi seseorang. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Bushman et al. (2014) dalam jurnal PNAS menunjukkan bahwa kadar glukosa darah yang rendah dapat meningkatkan agresivitas. Artinya, kondisi fisik berperan dalam kestabilan emosi seseorang.
Bagi yang sulit mengendalikan emosi saat puasa, tidur bisa menjadi solusi. Dengan tidur, tubuh beristirahat, metabolisme melambat, dan risiko ledakan emosi berkurang. Ini sejalan dengan konsep self-regulation dalam psikologi, di mana individu memilih strategi tertentu untuk mengontrol diri (Baumeister & Vohs, Handbook of Self-Regulation, 2004).
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa terlalu banyak tidur saat puasa justru mengurangi esensi ibadah. Islam mengajarkan umatnya untuk tetap produktif meskipun sedang berpuasa.
Dalam sejarah, banyak peristiwa besar terjadi saat Ramadan, seperti Perang Badar dan penaklukan Mekah, yang menunjukkan bahwa puasa bukan alasan untuk bermalas-malasan.
Di sisi lain, dalam perspektif kesehatan, tidur yang berlebihan juga tidak selalu baik. Menurut penelitian dalam Journal of Clinical Sleep Medicine (2017), tidur lebih dari sembilan jam dalam sehari bisa berdampak negatif pada metabolisme dan kesehatan jantung. Jika tidur berlebihan menjadi kebiasaan, justru bisa merugikan tubuh.
Lalu, bagaimana seharusnya menyikapi pilihan tidur saat puasa? Jawabannya terletak pada keseimbangan. Jika tidur membantu seseorang menghindari ledakan emosi yang berpotensi membatalkan puasa, maka itu bisa menjadi pilihan bijak. Namun, jika tidur justru menghilangkan produktivitas, maka perlu ada pengaturan yang lebih baik.
Content Competition Selengkapnya
MYSTERY CHALLENGE
Bercerita +SELENGKAPNYA
Ketemu di Ramadan

Ketemu di Ramadan hadir kembali. Selain sebagai ajang buka puasa bersama Kompasianer, ada hal seru yang berbeda dari tahun sebelumnya. Penasaran? Tunggu informasi selengkapnya!