Selalu Berhias Diri dengan Perbuatan Dosa adalah Puncak Keberhasilan dari Pembelajaran Puasa Ramadhan
Selalu Berhias Diri Dengan Perbuatan Dosa Adalah Puncak Keberhasilan Dari Pembelajaran Puasa Ramadhan
Penulis terinspirasi untuk mengangkat judul di atas sebagai sebuah tulisan supaya bisa menyadarkan kita semua yang seringkali terjebak pada pusaran bangga atas dirinya sendiri.
Perasaan bangga itu seringkali tercermin dalam virus merasa paling sholeh, paling baik, paling benar, paling nomor wahid masuk syurga, gampang menuduh orang lain salah, orang lain tidak benar, orang lain sesat terutama yang tidak sepaham dengan kita.
Seringkali lotaran-lontaran lisan begitu indahnya menuduh pihak lain sebagai pihak yang kotor sehingga harus memprotek diri agar tidak bergumul dengan orang-orang yang tidak sepaham dengannya karena konon dikhawatirkan akan mencemari kemurnian amal yang telah dilakukan seringkali tidak sadar bahwa pemikiran tersebut telah menggiringnya dalam jebakan perangkap syetan dengan bisikan mesranya menanamkan sikap I'jab bil Mar'I (bangga dengan dirinya).
Bukankah karena perilaku Iblis yang angkuh, sombong membuatnya harus terusir dari syurga saat menyatakan kesombongannya bahwa aku lebih baik dari Adam aku diciptkan dari api sementara adam dari tanah haruskah aku tunduk terhadap Adam "Allah berfirman: 'Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu? ' Iblis menjawab: 'Saya lebih baik daripadanya, Engkau ciptakan saya dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah'." (QS Al-A'raf: 12) dari sini mestinya kita banyak belajar betapa sangat berbayanya dalam sendi kehidupan ketika kita selalu merawat sifat bangga atas dirinya dan sekaligus merendahkan orang lain sebagai mana Iblis merendahkan Adam yang hanya diciptakan dari tanah namun pada akhirnya justru Iblis lah yang mendapatkan perdikan hina untuk selama-lamanya.
Atas dasar inilah lalu kemudian memunculkan sebuah maqolah yang sangat mendalam jika dicermati dengan kelembutan hati, kebersihan jiwa, dan kejernihan berpikir "Zayyinuu anfusakum bil ma'siyah, wa laa tazinuu anfusakum bil 'ibaadah", "hiasilah diri kalian dengan maksiat dan jangan dihiasi dengan amal takwa", sebuah nukilan yang sangat mendalam dari ulama besar Syaikh Ibnu Athaillah dalam kitab tasawufnya yang berjudul Al Hikam.
Nasihat di atas jika kita maknai secara harfiah tentu akan mengalami sebuah kebingungan, ketidak percayaan pada akhirnya pada kesimpulan tendensi kesalah pahaman menuduh bahwa Syekh Athaillah ajarannya sesat karena telah mengajarkan pengikutnya untuk berbuat maksiat kepada Allah SWT padahal nukilan tersebut adalah sebuah ajakan mulia agar manusia terhindar dari merasa banyak amal dan ketaatan , merasa sudah baik, merasa sudah sholeh dalam hidup jika ini terjadi maka akan terjerumus pada keangkuhan , maka jalan yang lebih bisa menyelamatkan adalah selalu menanamkan pada diri merasa banyak dosa sehingga ringkih istigfar akan selalu membasahi lisan.
Bukankah dalam ibadah puasa disadari atau tidak terselip pesan pembelajaran hidup agar senantiasa selalu bersikap tawadu' dengan menanamkan sikap rendah hati, empati, simpati dihadapan manusia dengan tidak merendahkan keberdaan orang lain , sebaliknya menghinakan diri di hadapan Allah SWT dengan membawa segudang dosa, dan kesalahan tetapi memiliki keyakinan bahwa lautan magfirah-Nya lebih luas dari murka-Nya