Percakapan Antara Manusia dan Ramadan di Hari Terakhir
Ramadan: Aku membawa kabar gembira tentang manusia-manusia yang istiqomah menghidupkan malam-malam Ramadan dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya aku juga membawa kabar duka, tentang manusia-manusia yang lalai pada ibadahnya, dan terlalu lekat pada gawainya. Semoga, jika Allah izinkan aku datang lagi kelak, syaithon dalam bentuk gawai, tidak lagi terlalu membuai manusia-manusia yang lemah.
Baiklah, telah sampai waktuku. Aku harus pergi. Berbaiklah dengan Syawal, ia datang dengan berita kegembiraan dan pengampunan. Ia datang dengan janji penyempurnaan pahala puasamu untuk digenapkan seperti puasa selama setahun. Berpuasalah lagi enam hari setelah engkau qadha puasamu. Semoga kita berjumpa lagi tahun depan, dan aku dapat menemuimu sebagai orang yang lebih baik dari hari ini.
Manusia: (menangis) Setua ini aku baru sadar mengapa sebagian orang bersedih ketika berpisah denganmu. Dulu aku selalu gembira, karena lebaran tiba dan tidak usah puasa lagi. Ternyata, berpisah denganmu adalah kesedihan karena berpisah dengan berbagai limpahan rahmat-Nya yang Ia lipatgandakan di waktumu.
Ramadan: Jangan bersedih, Manusia. Bergembiralah karena seluruh usahamu. Teruslah beribadah, jangan kendor. Engkau dan aku tak tahu, ibadah mana yang diridhai dan diterima oleh-Nya. Maka teruslah merayu-Nya dengan setiap kebaikan yang bisa engkau lakukan. Telah tiba waktuku. Allahu akbar. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Manusia: Wa alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.
(Manusia bersedih, tak lama. Setelah itu ia sibuk mempersiapkan lebaran. Menghitung uang di amplop angpau, Â menyiapkan baju baru dan mukena, memutuskan destinasi kunjungan lebaran kemana saja, dan lain-lain tenggelam dalam kesibukan dunia yang tak habis-habisnya).