Masih Adakah Ibu yang Menjahit Sendiri Baju Lebaran Anaknya?
Dulu, paling tidak sampai dekade 1970-an, ketika saya masih SD, setiap tahun ibu saya menjahit sendiri baju lebaran untuk anak-anaknya.
Jangan salah duga, ibu saya bukan seorang penjahit. Beliau ibu rumah tangga biasa, namun pandai menjahit baju. Di rumah kami juga ada sebuah mesin jahit.
Setahu saya, bukan hanya ibu saya yang pandai menjahit. Rupanya, selain pandai memasak, banyak ibu rumah tangga yang punya ketrampilan menjahit.
Dan memang, dulu banyak kursus menjahit yang kalau tak salah disebut dengan "modiste". Bahkan, kemampuan memasak dan menjahit menjadi penting bagi anak gadis sebagai pertanda ia sudah layak untuk menikah.
Dari ibu-ibu di kampung hingga di kota besar, lumrah saja ketika itu pintar menjahit. Seorang ibu negara, Fatmawati, yang merupakan ibunda dari Megawati Soekarnoputri, juga pintar menjahit.
Bukankah bendera merah putih yang dikibarkan saat proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 dijahit oleh Fatmawati? Cobalah baca kembali buku sejarah.
Nah, kembali ke pengalaman masa kecil saya, kami 7 bersaudara (saya anak ke-4), bila sudah memasuki bulan puasa, akan gembira ketika ibu mulai menjahit baju kami.
Namun, ketika kami semakin besar, mulai ada keinginan untuk menjahitkan baju ke tukang jahit, yang menurut saya hasil jahitannya lebih bagus dan tahu trend model pakaian.
Dari 7 orang bersaudara, hanya seorang kakak perempuan saya yang pintar menjahit. Tapi, hampir tidak pernah ia membuatkan baju lebaran bagi anak-anaknya.
Mungkin kakak saya itu tidak punya waktu karena ia seorang guru SMA. Sekarang, dari pengamatan saya sekilas sudah semakin langka ibu-ibu yang bisa menjahit pakaian.
Seperti di rumah saya sendiri, meskipun punya sebuah mesin jahit, tapi mesin itu lebih sering menganggur. Hanya sesekali istri saya menggunakannya sekadar memperbaiki pakaian.