Hampers Lebaran, Bukan Soal Harganya tapi Ketulusan
Sebuah pesan singkat masuk ke gawai saya dari seorang keponakan yang sekarang sudah menjadi seorang staf senior di sebuah lembaga keuangan di Jakarta.
Ia bertanya alamat lengkap saya karena akan mengirim kue lebaran. Agak kaget saya, karena si keponakan ini biasanya membawa kue secara langsung saat datang ke rumah saya di hari lebaran.
Dugaan saya, pada lebaran tahun ini, keponakan tersebut akan membawa keluarganya berlebaran di Payakumbuh (Sumbar) yang merupakan kota kelahiran ibunya.
Karena libur lebaran kali ini relatif lama, mungkin si keponakan ini juga akan jalan-jalan ke Dumai (Riau) yang merupakan kota kelahirannya.
Ibunya, yang juga kakak saya, dulunya seorang guru di sebuah SMA di Dumai, dan sejak pensiun lebih sering tinggal di Payakumbuh.
Berbicara soal hampers, parsel, atau bingkisan yang saya terima dalam rangka menyambut lebaran, pada dekade 2000-2010 relatif banyak saya dapatkan.
Tapi, saya menyadari, bingkisan itu lebih bersifat transaksional, bukan pemberian tulus tanpa pamrih seperti yang dilakukan keponakan saya.
Soalnya, ketika itu saya punya posisi di sebuah perusahaan milik negara, sehingga ada saja pihak lain yang merupakan mitra kerja, baik dari dalam perusahaan sendiri, maupun pihak luar perusahaan, yang mengirim bingkisan lebaran.
Tentu, maksudnya bukan sekadar silaturahmi biasa. Tapi, ada pesan tersirat agar ke depan bisa tercipta hubungan kerja atau hubungan bisnis yang lebih baik antara pengirim bingkisan dan penerima bingkisan.
Kemudian, sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin menunjukkan taringnya, boleh dikatakan semua BUMN membuat peraturan berupa larangan bagi personilnya untuk menerima bingkisan lebaran.
Bahkan, tak sedikit BUMN yang membuat pengumuman di media cetak berupa imbauan kepada rekanannya untuk tidak mengirimkan hadiah lebaran kepada personil BUMN tersebut.