Hampers Lebaran, Bukan Soal Harganya tapi Ketulusan
Hampers lebaran bisa jadi nilainya bila dirupiahkan relatif tidak besar. Namun, karena dikirimkan oleh relasi kerja, bisa ditafsirkan sebagai gratifikasi, yang masih termasuk dalam "rumpun" korupsi.
Kembali ke kue lebaran dari keponakan saya, hanya butuh beberapa jam setelah ia minta alamat lengkap, satu kotak berukuran sedang yang berisi 4 kotak kecil kue kering sudah sampai di rumah saya.
Segera saya sampaikan pesan berisi ucapan terima kasih kepada keponakan itu. Tapi, belum ada rencana saya untuk mengirim kue balasan.
Biasanya saya memberikan uang kepada dua orang anak dari keponakan saya itu, ketika mereka datang ke rumah saat lebaran.
Karena sekarang mereka mudik lebaran, tentu saya harus mencari kesempatan lain untuk memberikan angpao lebaran kepada anak-anak keponakan saya itu.
Keponakan saya itu selama kuliah di Jakarta tinggal bersama saya. Tapi, tentu bukan gara-gara itu ia mengirim kue lebaran. Saya yakin, ia mengirim dengan penuh ketulusan.
Sangat berbeda dengan bingkisan lebaran yang dulu saya terima dari relasi kantor tempat saya bekerja. Secara rupiah, nilai bingkisannya lebih mahal ketimbang yang dikirim keponakan saya.
Tapi, karena bingkisan itu bersifat transaksional (kalau saya tak punya posisi, tak mungkin saya dikirimi bingkisan), menurut saya nilainya jadi berkurang. Soalnya, pasti ada pamrihnya, ada udang di balik batu.
Bagaimanapun juga, tradisi saling berkirim hampers lebaran merupakan sesuatu yang positif. Dilihat dari sisi sosial, hal itu berperan memupuk rasa kekeluargaan yang lebih erat.
Kemudian, dilihat dari sisi ekonomi, jelas ikut menggairahkan pelaku bisnis yang menyediakan hampers lebaran. Rata-rata, pelaku bisnis tersebut tergolong pengusaha kecil dan layak untuk dibantu dengan membeli produknya.
Memang, sejak KPK menggolongkan hadiah lebaran sebagai gratifikasi jika diterima oleh aparat negara (termasuk BUMN) dari relasi kerjanya, bisnis prsel lebaran cenderung mengalami penurunan penjualan.