Lebaran di Sumbar: Ucapan "Salamaik Rayo" dan Tamu Diwajibkan Menyantap Hidangan
Istilah "Lebaran" sebetulnya tidak ada dalam khazanah bahasa Minang. Tapi, sekarang praktis tidak ada orang Minang yang tak tahu apa itu Lebaran, termasuk yang tinggal di desa dan belum pernah bepergian ke kota besar.
Bahkan, tradisi membuat ketupat pun, setidaknya di kampung saya di Payakumbuh dan juga Bukittinggi, dulunya tidak ada pada saat lebaran.
Bukan berarti orang Minang tidak mengenal ketupat atau dalam bahasa Minang disebut "katupek". Ketupat sayur dengan kuah gulai paku (gulai daun pakis) adalah salah satu kuliner tradisional Minang.
Tapi, ketupat tersebut hanya makanan biasa yang disantap seseorang yang singgah ke kedai penjual ketupat, bukan untuk dimasak khusus menyambut lebaran seperti yang lazim di Jakarta.
Namun, sejak dekade 1980-an, ketika media televisi mulai masuk ke berbagai tempat di Sumbar, termasuk ke desa-desa, akhirnya bagaimana tradisi berlebaran yang tampil di layar kaca, mulai ditiru masyarakat Sumbar.
Meskipun demikian, hingga sekarang tradisi makan bersama pada sebuah keluarga besar di pagi hari setelah mengikuti salat Idul Fitri, masih banyak dijumpai.
Hanya saja, kalau dulu makan bersama dilakukan di rumah gadang (rumah adat khas Minang), sekarang karena rumah gadang banyak yang tidak lagi berpenghuni, maka di mana sebuah keluarga besar akan berkumpul, tergantung pada kesepakatan.
Biasanya di rumah anggota keluarga yang paling tua, misalnya rumah kakek-nenek. Jadi, mulai dari kakek-nenek, anak-anak dan para menantu, serta semua cucu berkumpul di sana.
Bisa juga jika ada kakak beradik yang masing-masing sudah berkeluarga, menjadikan rumah kakak tertua sebagai tempat berkumpul di pagi lebaran pertama.
Di beberapa desa tertentu, kebiasaan makan bersama malah diikuti banyak warga desa dengan mengambil tempat di masjid setelah selesai salat Idul Fitri.