Mengambil Untung dari Penukaran Uang Receh, Halalkah?
Tentu, uang baru yang paling laris diburu setiap menjelang lebaran adalah yang bernominal kecil (pecahan Rp 20.000 ke bawah).
Nominal besar juga laris. Tapi, mungkin tak banyak di antara kita yang memberikan THR dalam pecahan besar. Maksudnya, tak sebanyak mereka yang berbagi dalam nominal kecil.
Di atas telah disinggung bahwa BI menyiapkan 5.066 titik lokasi penukaran uang. Karena kantor BI relatif terbatas, seperti biasanya, BI akan menggandeng bank-bank umum.
Nah, jika masyarakat menukar uang di kantor bank, atau bisa juga petugas bank membuka counter di tempat tertentu, tak ada uang jasa penukaran yang dibebankan pada masyarakat.
Jadi, kalau kita menukarkan uang yang sudah lusuh sebanyak 5 lembar pecahan Rp 100.000, bisa ditukarkan dengan 100 lembar (1 gepok) uang pecahan Rp 5.000.
Karena tak ada ongkos penukaran itulah, membuat banyak sekali peminat penukaran uang di bank. Biasanya, antreannya lumayan panjang.
Bagi mereka yang tak mau antre, atau tempat tinggalnya jauh dari lokasi penukaran resmi, bisa menukar kepada penukar uang yang beroperasi di pinggir jalan yang dilewati banyak orang.
Tapi, pedagang atau penukar uang ala pinggir jalan ini memungut jasa penukaran. Misalnya kita menyerahkan uang Rp 500.000, namun uang baru yang kita dapatkan mungkin hanya Rp 450.000.
Artinya, si penyedia jasa memungut semacam fee sebesar 10 persen dari jumlah nominal uang yang ditukar.
Ya, anggap saja 10 persen itu sebagai upah si pedagang yang berjuang antre ke bank atau ke tempat jasa penukaran resmi.
Masalahnya, ada 2 pendapat tentang halal atau tidaknya seorang penukar uang memungut biaya seperti di atas.