Waisak dan Ramadan, Refleksi Kesadaran dan Keutuhan
7 Mei 2001, persis 19 tahun yang lalu, kami melaju dari Kota Pasuruan menuju Kota Batu, Malang. Momen di hari itu sama persis dengan momen di hari ini, yaitu Hari Raya Waisak. Hari Raya umat Buddha. Bedanya di 2545 dan 2564 BE (Buddhist Era), perhitungan kalender Buddha yang dimulai sejak sang Buddha wafat pada 544 SM.
Ada beberapa tujuan kami ke Malang. Yang saya masih ingat kuat, adalah bertamu ke Banthe Jamal (adalah orangtua angkat Bapak Mertua saat muda) yang berdomisili di Padepokan Dhammadipa Arama, Mojorejo Batu, Malang.
Banthe sebutan untuk biksu/bikkhu senior. Memiliki arti "Guru yang Mulia". Jamal nama jawanya, sedang nama tahbisnya Khantidharo Mahathera. Tapi kami lebih suka panggil Banthe Jamal.
Kami masuk ke padepokan, dipersilahkan duduk di taman, hingga dipersilahkan masuk. Kami bersalaman, bapak Mertua memperkenalkan kami satu persatu, berbincang sebentar. Bersegera kami pamit meneruskan perjalanan. Memang tidak lama, selain di luar juga sudah ramai para muda Buddha yang bermaksud bertemu dengan Banthe.
Saya mendapat banyak perspektif tentang keberagaman keyakinan dalam beragama. Apalagi selama ini berdomisili di daerah- daerah yang plural. Di Denpasar yang khas dengan kultur Hindu, di Kupang yang lekat dengan ritual Kristen/Katolik.
Waisak hadir di tengah bulan Ramadan. Waisak dan Ramadan hadir ditengah masifnya penyebaran wabah covid-19. Dimasa semua orang diminta mengisolasi diri, menahan diri untuk tidak keluar rumah. Tidak ada gebyar ibadah bulan Ramadan dan tidak ada peringatan Hari Raya Waisak. Toh, aktivitas gebyar dan perayaan cenderung seremonial belaka. Abai aspek religiusitas.
Memaknai eksistensi bulan Ramadan dan Waisak ditengah wabah covid19, memberikan peluang diri sebagai manusia untuk instrospeksi, mengevaluasi diri dan sekaligus menyucikan diri dalam rangka perubahan menjadi insan yang lebih mulia.
Ibadah puasa bulan Ramadan mengangkat derajat kemuliaan hamba Allah di level Muttaqin. Kemuliaan untuk sesama manusia (hablum minannas) dan juga dalam rangka mengabdi pada Allah (hablum minAllah).
Rasa solidaritas sosial pada sesama di bulan Ramadan, bisa diwujudkan dengan bersedekah, infak dan berzakat. Zakat secara sosiologi bermakna konstruktif untuk menghilangkan sekat-sekat si kaya dan si miskin. Waisak bagi umat Buddha, menjadi ritual keagamaan untuk merekatkan solidaritas antarindividu.
"Kita memiliki tujuan yang sama bagaimana kebahagiaan dan keharmonisan terwujud".