Isson Khairul
Isson Khairul Jurnalis

Saya memulai hidup ini dengan menulis puisi dan cerita pendek, kemudian jadi wartawan, jadi pengelola media massa, jadi creative writer untuk biro iklan, jadi konsultan media massa, dan jadi pengelola data center untuk riset berbasis media massa. Saya akan terus bekerja dan berkarya dengan sesungguh hati, sampai helaan nafas terakhir. Karena menurut saya, dengan bekerja, harga diri saya terjaga, saya bisa berbagi dengan orang lain, dan semua itu membuat hidup ini jadi terasa lebih berarti.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Menanti Waktu Berbuka dengan Ikan-ikan yang Tak Puasa

2 April 2023   15:07 Diperbarui: 2 April 2023   15:13 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menanti Waktu Berbuka dengan Ikan-ikan yang Tak Puasa
Nostalgia Ramadan di masa kanak-kanak di kampung. Foto: Isson Khairul

Setelah berpuluh tahun kemudian, tiap kali Ramadan tiba, kenangan suka-ria bersama anak-anak surau di kampung, selalu memenuhi ingatan dan perasaan. Masa-masa yang indah, yang tentu saja sudah tidak mungkin terulang kembali. Tidur di surau beralaskan tikar di atas lantai papan dan tanpa bantal, menjadi kenangan yang seru bagi kami.

Andai saja WS Rendra sempat singgah di kampung kami, tentu narasi sajak Sajak Seonggok Jagung tersebut, tidak seperti petikan yang saya kutipkan di awal tulisan. Di kampung kami, ada sungai besar bernama Batang Piaman. Kemudian, ada juga sungai ukuran sedang, yang disebut sebagai banda. Keduanya menjadi sumber air untuk mengairi berhektar-hektar sawah di sekeliling kampung.

Banda yang saya sebut itu, mengalir persis di depan rumah saya. Ada jembatan yang menghubungkan jalan raya dengan rumah saya. Nah, di atas jembatan itulah, saya kerap bernostalgia tentang anak-anak surau, jika pulang kampung dari perantauan. Ketika mudik saat Ramadan, di atas jembatan itu pula saya menikmati suasana kampung, sembari menanti waktu berbuka tiba.

Banda yang merupakan sungai ukuran sedang tersebut, menjadi area investasi kampung sampai kini. Pengurus kampung membeli bibit berbagai jenis ikan, kemudian menebarnya di banda. Ikan-ikan itu dilepas-liarkan di banda. Warga kampung memberi makan ikan-ikan itu secara sukarela, sebagai hiburan. Tidak seorang pun berani mencuri ikan di banda tersebut.

Hiburan ala kampung itulah yang saya nikmati, tiap kali mudik. Pada Ramadan, sembari menanti waktu berbuka tiba, saya pun memberi makan ikan-ikan itu. Toh, ikan-ikan itu tidak berpuasa. Mereka dengan lahap menyantap pelet atau nasi yang saya tebarkan ke banda. Sungguh, itu hiburan murah-meriah yang sangat menyenangkan.

Bukan hanya saya yang berbuat demikian. Warga lainnya, juga kerap melakukan hal yang sama. Ikan-ikan itu sepenuhnya milik kampung. Sekali setahun, menyambut peringatan Maulid Nabi Muhammad pada 12 Rabiul Awal, ikan-ikan itu dipanen. Kemudian dijual, yang seluruh hasilnya digunakan untuk kepentingan masjid.

Karena banda itu membentang panjang hingga batas wilayah dengan kampung lainnya, maka secara area cukup luas. Sekali panen, hasilnya mencapai puluhan juta rupiah. Karena itulah, banda tersebut merupakan investasi kampung sampai kini. Pada saat panen ikan, saya menyempatkan untuk mudik, turut menikmati suka-ria warga kampung.

Demikian juga pada Ramadan, meski hanya beberapa hari di kampung. Keguyuban yang terus terawat di kampung halaman, telah menjelma menjadi kekuatan bersama. Kebersamaan itu menumbuhkan inspirasi, hingga terciptalah investasi, dengan mengelola sumber daya alam yang ada di kampung.

Dalam konteks itu, petikan lain dari sajak Sajak Seonggok Jagung karya WS Rendra tersebut, sangat tepat menarasikannya:

Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan hanya menghayati persoalan yang nyata.

Jakarta, 2 April 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun