Takaran dan Timbangan
Selama dua tahun wabah covid-19, banyak aktifitas kehidupan yang dilakukan dari rumah secara online. Tidak terkecuali acara pengajian saya. Pengajian selama tiga kali Ramadan sejak tahun 2020-2022 pun masih dilakukan secara daring.
Kali ini, saya mendapat tugas Ramadan dari murabbi (guru) untuk membaca tafsir Alquran. Salah satunya adalah surat Al-Muthaffifiin. Allah SWT berfirman: (1) Wailullilmuthaffifiin (2) Alladziina idzaktaaluu 'alannaasi yastaufuun (3) Wa idzaa kaaluuhum auwwazanuuhum yukhsiruun.
"Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka meminta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi". (QS Mutthaffifiin ayat 1-3).
Telah terjadi kecurangan yang berkaitan dengan penggunaan takaran dan timbangan. Dahulu, kebanyakan penduduk Madinah menggunakan takaran karena mayoritas pekerjaan mereka adalah pengepul. Apabila mereka menjual kurma akan menggunakan ukuran so' yang mana ukuran tersebut adalah ukuran volume. Adapun penduduk kota Mekah menggunakan timbangan karena kebanyakan mereka adalah para pedagang, seperti penjual emas dan perak.
Saat menjual sesuatu, takaran atau timbangannya dikurangi, dan saat membeli minta dilebihkan. Padahal kedua-duanya baik takaran maupun timbangan harus disempurnakan. Jika tidak disempurnakan maka ada hak orang lain yang diambil. Islam melarang perbuatan ini. Oleh karena itu, Allah mengazab kaum Madyan yang mengabaikan seruan Nabi Syu'aib untuk menyempurnakan takaran dan timbangan.
Mengapa hal buruk itu menjadi sebuah kebiasaan? Dalam sebuah tafsir dijelaskan bahwa barang siapa yang berbuat kezaliman akan ada satu titik hitam di hatinya. Jika kezalimannya bertambah-tambah, titik ini juga bertambah hitam dan menutupi seluruh hati. Akhirnya gelap. Tidak bisa membedakan antara yang halal dan yang haram. Antara yang benar dan yang salah seringkali tertukar.
Kejahatan terlihat seperti kebaikan. Kebaikan terasa menyesakkan untuk dilakukan. Sulit diberi nasihat. Lama-lama tidak percaya adanya takdir. Tidak percaya yang gaib. Tidak percaya adanya hari kebangkitan, penghisaban, juga balasan surga dan neraka. Maka, hanya keuntungan dunia yang jadi tujuan.
Surat Al-Muthaffifiin juga tidak sekadar bicara tentang timbangan dan takaran dalam wujudnya yang konkrit. Sebagian ulama juga mengaitkannya dengan orang yang hanya bisa menuntut sesuatu tetapi tidak mau dituntut. Termasuk di dalamnya relasi antara suami dan istri, bawahan dan atasan, juga antara rakyat dan pemimpin.
Rakyat tidak boleh hanya meminta haknya pada pemerintah tanpa melaksanakan kewajiban menaati aturan. Pemerintah juga tidak boleh abai pada hak rakyat karena rakyat sudah membayar biaya ini itu untuk menyokong negara menjalankan roda pemerintahan.
Mengurangi sedikit hak mungkin terasa ringan bagi manusia, tetapi sangat berat perhitungannya di sisi Allah. Duh, ngeri! Jadi pemimpin itu berat banget ternyata. Namun, banyak yang tak tahan untuk merindukannya. Sementara terhadap hisab akhirat, tahankah mereka? ***