A 8, Kos Wiwik, Hans Kung: Bagaimana Nonis Mengenang Ramadhan dan Idul Fitri 2024?
Hari Selasa 9 April 2024 adalah hari terakhir masa puasa di bulan suci Ramadhan. Saya bergembira karena untuk pertama kalinya datang ke kota Solo dan melihat dari dekat bagaimana kota ini menjadi salah satu barometer keberagaman agama sekaligus cairnya praktek moderasi beragama.
Saat membuat catatan kecil ini, saya sedang duduk di ruang tamu kos sambil menikmati ramai dan bersemangatnya suasana takbiran dari masjid sekitar. Suara takbiran bersahut-sahutan terdengar dari masjid di sekitar kos, sedang beberapa kelompok anak turun ke jalan sepanjang gang dengan gendang dan gemericing giring-giring mengumandangkan takbiran.
Ruang tamu kos kami menjadi spot istimewa. Spot tempat 2 kursi panjang ditata berhadapan dekat ruang jemur dan lorong kos. Tempat yang tak disiapkan pemilik kos dalam konsep bangunan kos, tapi secara organik disulap oleh beberapa saudara (mas Krug, Yanto, Ardes dan Rian) sebagai ruang tamu, sebab di tempat kami di Nusa Tenggara Timur tak ada teras dan ruang tamu takkan mungkin ada pengetahuan dan percakapan yang dibagikan. Di ruang tamu kos Wiwik ini kami berbagi banyak hal terlebih disaat malam sebelum tidur.
Salah satu percakapan yang selalu membuat kami bersemangat adalah kisah-kisah seputar Ramadhan, mudik dan suasana menyongsong Lebaran.
Sebagai non muslim di Kota Solo, saya datang dari tempat di mana kami terbiasa bergaul akrab dengan kawan-kawan muslim. Awal pembukaan puasa di gang saya kampung Rote, kota kecil Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah momen menunggu kiriman makanan enak dari tetangga muslim. Dua hari liburan Idul Fitri adalah momen gerilia kue enak di rumah teman-teman muslim. Kami akan membawa kantong-kantong plastik dan menyambangi rumah kawan-kawan muslim. Kami akan mencatat dalam kepala rumah mana saja yang tuan rumahnya hanya menyediakan kue dan rumah mana saja yang ada opor ayamnya.
Kami sering menunggu IdulFitri sebagai momen perayaan seperti menunggu datangnya Natal dengan aroma kue dan baju barunya.
Agaknya mudah bagi saya mendengar takbiran di masjid seperti mendengar denting lonceng gereja memanggil, berkumpul dan membuat suasana hati dan ruang spiritual seperti meluap-luap tak terkatakan.
Di Solo, untuk pertama kalinya saya merasakan suasana khas Ramadhan sebulan penuh sebagai suasana rahmat. Momen buka bersama yang berisi kesenangan dan kedamaian, saling berbagi dan terutama senyum merekah saat waktu berbuka sore hari.
Di pintu gerbang depan kampus Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), selalu saja tawaran makanan gratis kami terima saat waktu berbuka. Saat selesai jam pengayaan bahasa adalah momen berkesan karena akan selalu berjumpa sekelompok mahasiswa yang menawarkan kantong berisi makanan dengan wajah sumringah. " Maaf kak kami Kristen" begitu Yuni saudari saya menolak tawaran itu karena sungkan " tidak apa-apa, ayo semua akan dapat takjilannya" jawab si mahasiswa UNS dengan tersenyum sambil tangannya lincah membagikan kami takjil dalam kardus besar.
Sisanya di kelas pengayaan bahasa, kami mengikuti kebiasaan berbuka bersama, dengan makan, bercerita penuh sukacita. Di kelas bahasa saya A 8, sehabis buka bersama (bukber) kami mengundang pengajar untuk memberi petuah, yang tentu saja sudah selalu mereka berikan di kelas.