(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id
Bacatuk Dauh, Tradisi Urang Banjar Menyemarakkan Hari Raya Lebaran
Urang Banjar sejak bahari (dulu) sebagaimana saudara-saudarannya, masyarakat Melayu lainnya dikenal mempunyai kedekatan emosional dan spiritual dengan agama Islam. Bahkan, kedekatan diantara keduanya akhirnya membentuk sebuah harmoni berupa ikatan identitas yang saling mengikat antara satu sama lain.
Keidentikan dan kedekatan Islam dengan urang Banjar, tidak hanya mengantarkan urang Banjar untuk bertemu dengan Islam sebagai ritual peribadatan (seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang diambil urang Banjar sebagai tuntunan) semata, tapi juga ragam budaya bawaan yang diperkenalkan Islam sejak pertama kali masuk ke bumi Kalimantan atau Borneo, khususnya ke banua Banjar.
Salah satu budaya “bawaan” Islam yang diyakini masuk ke Kalimantan berbarengan dengan masuknya “ajaran” Islam ke bumi Banjar yang sampai sekarang masih tetap eksis, tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat Banjar adalah tradisi seni bacatuk dauh atau tradisi seni memukul bedug.
Tidak hanya sekedar bacatuk atau asal memukul, masyarakat Banjar biasa memberi sentuhan irama saat bacatuk dauh, terutama ketika memberi tanda masuknya waktu shalat 5 waktu kepada seluruh umat Islam, terlebih sebelum masuknya listrik ke Pulau Kalimantan. Saat itu, bunyi dauh merupakan satu-satunya alat yang bisa digunakan untuk memberi tanda masuknya waktu shalat 5 waktu kepada masyarakat dengan jangkauan paling luas.
Hal ini dikuatkan pada Muktamar NU ke-11 di banua Banjarmasin, Kalimanatan Selatan tahun 1936, dimana dauh dan kentongan dinyatakan masih sangat dibutuhkan oleh masjid dan Mushalla untuk memperbesar syiar Islam.
Berangkat dari keberadaan ragam irama yang muncul dari teknik mancatuk dan pengaturan tempo dalam mancatuk dauh yang menjadikan setiap catukan dauh urang Banjar jauh lebih indah dan menarik perhatian plus adanya hasil putusan muktamar NU, tahun 1936 di Banjarmasin menjadikan banyak pihak merasa perlu untuk terus melestarikan seni tradisi bahari yang dalam satu dekade terakhir mulai tergeser oleh speakerisasi masjid dan Mushalla di seluruh pelosok nusantara.
Salah satu daerah di Kalimantan Selatan yang secara konsisten terus berusaha melestarikan keindahan seni tradisi bacatuk dauh yang menurut teori sejarah, sebenarnya bukan “bawaan asli” dari ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW, tapi menurut penelitian dari pakar sejarah merupakan akulturasi budaya berupa perpaduan fisiografis antara instrumen musik membrafon etnik Nusantara dengan alat musik sejenis dari India, Cina, dan Timur Tengah ini adalah Kabupaten Banjar.
Kabupaten yang beribukota di kota Intan Martapura ini sejak lama memang dikenal sebagai daerah paling religius di Kalimantan Selatan. Selain banyak pondok pesantren tua dan ternama serta banyaknya tokoh ulama berpengaruh yang berasal dari daerah ini, kota Martapura sendiri sejak lama mempunyai julukan sebagai Kota serambinya Makkah.