(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id
Menikmati Microcation di "Kampung Bidadari", Likupang
Berbagai keterbatasan yang mempersempit ruang gerak anak-anak milenial, ternyata justeru memicu kreatifitas mereka di berbagai aktifitas, salah satunya yang mungkin sedang nge-tren adalah dengan lahirnya konsep berlibur kekinian yang compact (singkat dan padat), simple (mudah dan dekat) dan berbiaya rendah (low cost) yang belakangan beberapa diantaranya kita kenal sebagai konsep berlibur staycation atau Bleisure Trip dan juga microcation atau mini trip.
Apa itu Microcation?
Disarikan dari berbagai sumber, staycation dan microcation sama-sama mengedepankan pemanfaatan waktu liburan yang terbatas semaksimal mungkin yang salah satu strateginya, adalah dengan menyusun itinerary seefektif dan seefisien mungkin.
Kalaupun tetap harus dibedakan, staycation lebih cenderung fokus pada tempat atau lokasi berlibur yang intinya di wilayah sendiri (bisa dirumah, di hotel kota sendiri atau di hotel negara sendiri), sedangkan microcation lebih cenderung fokus pada waktu liburan yang lebih pendek.
Dari orientasi berlibur keduanya, setidaknya kita bisa melihat diantara keduanya ada celah untuk saling masuk dan saling mengisi. Karenanya saya lebih suka untuk meyebut microcation sebagai versi compact (ringkas dan padat) dari staycation yang bisa dilakukan dimana saja!
Contoh riilnya, kalau berlibur "normal" ke Sulawesi Utara, destinasi wisatanya bisa sangat banyak dan tersebar di beberapa tepat yang bisa jadi lokasinya berjauhan, maka dengan microcation, destinasi yang dikunjungi bisa dilokalisir di satu kawasan yang bisa dijangkau dalam durasi waktu yang sudah direncanakan dalam waktu yang relatif pendek, misal untuk mengisi waktu libur Sabtu dan minggu saja.
Maka pilihan microcation bisa dikerucutkan pada kawasan yang lebih sempit misal, fokus di Kota Tomohon dan sekitarnya saja atau mungkin fokus di kawasan DSP Likupang yang sedang naik daun sebagai destinasi wisata alam dan budaya yang cukup lengkap. Bahkan disini ada banyak homestay unik yang menyatu dengan rumah-rumah penduduk yang memungkinkan pengunjung bisa berinteraksi lebih intim dengan masyarakat setempat sebagai pengelola. Ini yang sepertinya tidak ada di tempat lain, di Indonesia, jadi sangat cocok untuk microcation dengan tema budaya.
Di Likupang, atau lebih spesifik di desa Bahoi saja, kita bisa seharian menghabiskan waktu untuk menjelajahi hutan bakau yang didalamnya juga berperan sebagai konservasi alam untuk puluhan plasma nutfah spesies bakau Indonesia. Tidak hanya itu, di kawasan hutan bakau ini juga menyimpan situs pohon bakau yang diperkirakan berusia ratusan tahun yang bisa dilihat dari besarnya lingkar bekas tanaman bakau, serta begitu luas dan kuatnya cengkeraman akar-akar bakau berwarna kehitaman di sepanjang pantai yang ternyata secara reguler juga menjadi jalur migrasi para Dugong alias si putri duyung tersebut.
Selain destinasi alam yang memang menjadi andalan utama DSP Likupang, masyarakat desa Bahoi yang sebagian besar memang perantau dari Sangihe, juga masih memelihara adat istiadat nenek moyangnya sampai detik ini. Salah satunya yang paling kental terlihat adalah pada tarian masamper yang biasa dipersembahkan dalam penyambutan tamu istimewa.