(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id
Topofilia, Simpul-simpul Pengikat Batin dari Kampung Halaman
Sejak awalnya merantau untuk belajar, dilanjut bekerja dan hingga akhirnya memutuskan berumahtangga di perantauan yang secara hitung-hitungan jarak terus menjauh dan semakin jauh dengan kampung halaman, menjadikan ritual "pulang kampung" atau ada juga yang menyebutnya dengan "mudik" setahun sekali, khususnya diseputaran hari raya lebaran sebagai bagian dari romansa kehidupan yang selalu saya dan keluarga tunggu-tunggu kehadirannya.
Baca Juga: Menikmati Microcation di "Kampung Bidadari", Likupang
Sebagai perantau yang telah 3 dekadean berkelana njajah desa molang kori di sebagian bumiNya Allah SWT, seperti yang saya tuliskan dalam artikel berjudul "Ngeri-ngeri Sedap" Mudik Melalui Jalur Sungai Barito dan Lorong Waktu Menuju Elegi Mudik Era 90-an, sepertinya semua moda transportasi darat, laut dan udara di nusantara berikut romantika elegis-nya, sudah semuanya saya coba.
Mulai dari naik dokar yang kudanya lepas, naik Byson yang lepas gardan di tengah malam perjalanan, naik bis kecelakaan hingga masuk sungai, naik bis dan kereta api yang hanya bisa menampung satu kaki saja, naik kereta berjubel sampai tidur berdiri di WC yang baunya aduhai, sampai duduk bareng kambing dan ayam hingga ketinggalan barang-barang bahkan juga istri yang lagi hamil dan tentunya termasuk ketinggalan pesawat gara-gara salah baca jam WIB dan WITA, plus nama yang gak sesuai KTP, hadeeeeh banyak deh serunya!
Kalau dipikir-pikir, tradisi pulang kampung atau mudik kita ini kok mirip-mirip dengan ritual mudik tahunannya ikan salmon menuju tempat kelahirannya ya!? Berat dan menantang bahaya!
Selain jarak untuk mudiknya yang menurut para ilmuwan tidak kurang mencapai 1000 km, bahkan lebih dan juga lokasi "kampung halaman" yang ternyata juga tidak mudah ditemukan, karena untuk sampai ke tempat kelahirannya ternyata tidak cukup kalau ikan salmon hanya mengandalkan indra penciumannya saja, ikan salmon juga wajib bisa menemukan dan mengenali intensitas, kekuatan dan juga sudut medan magnet bumi lokasi tempatnya dilahirkan yang kelak menjadi tempatnya bertelur. Nah lo...
Tidak hanya itu, disepanjang perjalanan ikan salmon dewasa ini juga harus bisa melewati jeram, berenang melawan arus yang sudah pasti perlu persiapan fisik yang prima dan yang paling krusial, mereka harus "beruntung", bisa lolos dari berbagai predator yang sudah siap memangsa disepanjang jalur sungai, seperti burung elang, berang-berang, beruang dan banyak lagi yang lainnya. Mirip kan, dengan elegi perjalanan mudik kita!?
Baca Juga: Meluruhkan Ego di Laguna Ubur-ubur Purba Pulau Kakaban
Pertanyaanya sekarang, kalau mudiknya ikan salmon ke kampung halaman tempat dia dilahirkan lebih pada naluri atau panggilan alam untuk bereproduksi, lantas mudik kita ke kampung halaman untuk apa, karena apa? Masak iya, hanya untuk bereproduksi juga seperti ikan salmon? He...he...he...