(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id
Negeri 5 Menara dan Tobatku Jadi Katak dalam Tempurung
Berawal dari sebuah novel trilogi best seller super inspiratif berjudul Negeri 5 Menara karya A. Fuadi, Million Pictures dan KG Production akhirnya memutuskan untuk mengadaptasi kisah inspiratif yang diambil dari perjalanan hidup sang penulisnya ini ke layar lebar.
Memang secara garis besar, tidak ada perubahan yang signifikan pada kisah di film ini dengan kisah dalam versi novelnya, kalaupun ada mungkin hanya sebatas lompatan alur cerita karena ada adegan dalam novel yang tidak dipakai dalam film.
Tapi yang belum membaca novelnya nggak perlu khawatir tidak mengerti jalan cerita film ini secara runtut dan rapi, karena film ini dikemas dengan begitu rapi dan cukup baik merepresentasikan kisah yang ada di novelnya secara utuh.
Kisah "petualangan" Negeri 5 menara dengan setting era 80-90an ini, di mulai dari pelosok di seputaran Danau Maninjau Sumatera Barat.
Dialah Alif, anak kampung yang kelak memberi contoh kepada kita semua, bahwa semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk sukses, asal memang berniat untuk sukses, juga berniat untuk mewujudkan kesuksesan itu.
Di sekuel pertama ini, film memang lebih banyak menyoroti dinamika kehidupan di pondok Madani yang dikisahkan terletak di Ponorogo, Jawa Timur tempat Alif melanjutkan pendidikan sesuai dengan permintaan ibunya yang berharap anaknya seperti Buya Hamka.
Luar biasanya, film ini berhasil memberi wawasan kepada masyarakat luas, bahwa ternyata dinamika dunia pesantren jauh lebih dinamis dan kompetitif dari yang ada dalam benak kita sebelumnya yang secara umum cenderung beranggapan dunia pondok pesantren hanya tempat belajar agama yang terbelakang.
Alif (Gazza Zubizareta), Raja (Jiofani Lubis), Dulmajid (Aris Putra), Atang (Rizki Ramdani), dan Baso (Billy Sandy) dan Said (Ernest Samudra) pemuda-pemuda tanggung yang datang dari berbagai daerah di penjuru Nusantara ini membuktikannya, mempunyai wawasan yang luas dan mempunyai mimpi dan cita-cita yang tinggi, merupakan langkah bagus untuk memulai kehidupan.
Jadi jangan mau menjadi katak dalam tempurung ! Ini yang luar biasa dari film pembuka dari kisah trilogi ini.
Tingginya cita-cita mereka, para sahibul menara ini untuk menuntut ilmu setinggi mungkin sampai diluar negeri, jelas tidak datang tiba-tiba, tapi juga dibarengi dengan proses berwawasan yang luas dan ini bukan perkara biasa dan mudah bagi anak-anak era jaman itu yang secara umum tidak mempunyai akses komunikasi yang memadai.